Beranda

Selasa, 25 Januari 2011

KESESUAIAN KOSAKATA PADA CERITA ANAK KARYA AESOP SEBUAH TINJAUAN KETERBACAAN WACANA

oleh Andini Putri Pribadini

Pendahuluan
Membaca merupakan salah satu dari empat keterampilan berbahasa. Membaca sendiri juga diartikan sebagai suatu proses yang dilakukan serta dipergunakan oleh pembaca untuk memperoleh pesan, yang hendak disampaikan oleh penulis melalui media kata-kata atau bahasa tulis. Suatu proses yang menuntut agar kelompok kata yang merupakan suatu kesatuan akan terlihat dalam suatu pandangan sekilas, dan agar makna kata-kata secara individual akan dapat diketahui. Kalau hal ini tidak terpenuhi, maka pesan yang tersurat dan yang tersirat tidak akan tertangkap atau dipahami, dan proses membaca itu tidak terlaksana dengan baik (Tarigan, 1979). Membaca perlu dibina sejak dini tujuannya adalah agar anak-anak terbiasa melakukan kegiatan membaca hingga akhir hayat. Dalam kehidupan di masyarakat, keragaman bahan bacaan untuk konsumsi baca sangat terasa, salah satunya adalah bahan bacaan bagi anak. Keberagaman bahan bacaan bagi anak tersebut dapat berupa komik, dongeng, fabel, cerita anak, maupun cerita anak yang diterjemahkan, buku bergambar prasekolah (pengenalan konsep seperti huruf, angka, warna dan sebagainya, buku dengan kalimat yang berirama dan berulang, buku bergambar tanpa kata-kata), sastra tradisional (mitos, dongeng, cerita rakyat, legenda, sajak), fiksi (fantasi, fiksi modern, fiksi sejarah), biografi, autobiografi, ilmu pengetahuan, puisi, dan syair. Salah satu spesifikasi bahan bacaan yang dibahas dalam artikel ini adalah cerita anak.
Cerita anak adalah jenis sastra yang ditulis dan diterbitkan untuk anak-anak. Terdapat beberapa fenomena ketika anak membaca bahan bacaan tersebut, yaitu (1) anak dapat membaca dengan baik, namun tidak memahami apa yang ia baca dan (2) ada pula anak yang pada dasarnya mampu membaca, namun ketika ia membaca suatu cerita anak ia kesulitan dalam membacanya. Hal ini berpokok masalah pada adanya kemungkinan ketidaksesuaian kosakata pada cerita anak tersebut bagi usia peruntukkannya. Oleh karena itu, cerita anak perlu disesuaikan dengan tingkat kemampuan membaca anak.
Tinjauan keterbacaan dalam hal ini sangat berperan untuk menentukan tingkat keterbacaan wacana (cerita anak) yang cocok untuk sasaran pembacanya yaitu anak-anak. Bahan bacaan bagi anak-anak betul-betul harus tepat sasaran pada rentang usia anak. Hal ini bertujuan agar anak-anak mampu membacanya dengan baik bahkan memahami maksud dari apa yang mereka baca.

Peruntukkan Cerita Anak
Peruntukkan bahan bacaan dapat diklasivikasikan berdasarkan tingkatan usia pembacanya. Tingkatan tersebut juga termasuk dalam jenjang pendidikan yang dialami oleh pembaca. Rentang usia 3 sampai dengan 4 tahun adalah rentang usia prasekolah, rentang usia TK dimulai dari 4 sampai dengan 6 tahun, rentang usia SD dimulai dari 6 sampai 11 tahun, usia SMP 11 sampai dengan 14 tahun, dan usia SMA adalah 14 sampai dengan 17 tahun.
Menurut definisi Asosiasi Perpustakaan Amerika, cerita anak adalah bahan bacaan yang sesuai dengan tingkat kemampuan membaca dan minat anak-anak dari kelompok umur tertentu atau tingkatan pendidikan, mulai prasekolah hingga kelas enam sekolah dasar. Artinya, bahan bacaan cerita anak diperuntukkan bagi anak-anak dari rentang usia 3 sampai dengan 11 tahun. Buku secara khusus ditulis dan diberi ilustrasi untuk anak dengan kriteria usia dan pendidikan tertentu.

Aesop Ahli Cerita Anak
Salah satu penulis cerita anak terkemuka di dunia adalah Aesop. Kebanyakan cerita anak yang ia buat berbentuk fabel. Berbagai macam kumpulan fabel dari Aesop masih diajarkan sebagai pendidikan moral dan digunakan sebagai subyek dari berbagai macam hiburan, khususnya dalam drama anak-anak dan kartun. Berbagai macam karya Aesop tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia antara lain Si Pelit, Dua Orang Pengembara dan Seekor Beruang, Anak Laki-laki dan Setoples Kacang, Hercules dan Pembawa Gerobak, Pengembara dan Sekantong Uang,  dan lain sebagainya.
Artikel ini mengambil lima sampel cerita karya Aesop yang telah diterjemahkan untuk diujicobakan keterbacaannya. Kelima sampel cerita itu antara lain Kerbau dan Kambing, Burung Gagak dan Sebuah kendi, Anjing dan Bayangannya, Pemerah Susu dan Embernya, serta Semut dan Belalang.
Pertimbangan tingkat kelayakan suatu bahan bacaan (cerita anak) bagi anak tidak hanya didasarkan atas pertimbangan berbagai nilai seperti nilai isi, manfaat, pendidikan, moral, estetika, etika, dan lain-lain melainkan juga harus dipertimbangkan tingkat kesulitan dari masing-masing bahan bacaan yang dimaksud.

Teori Keterbacaan
Keterbacaan merupakan istilah dalam bidang pengajaran membaca yang memperhatikan tingkat kesulitan materi yang sepantasnya dibaca seseorang. Keterbacaan juga didefinisikan sebagai hal atau ihwal terbaca-tidaknya suatu bahan bacaan tertentu oleh pembacanya. Keterbacaan mempersoalkan tingkat kesulitan atau tingkat kemudahan suatu bahan bacaan tertentu bagi peringkat pembaca tertentu. Keterbacaan (readability) merupakan ukuran tentang sesuai-tidaknya suatu bacaan bagi pembaca tertentu dilihat dari segi tingkat kesukaran/ kemudahan wacananya.
Manfaat tinjauan keterbacaan adalah mengetahui ukuran tentang sesuai-tidaknya suatu bacaan bagi pembaca tertentu dilihat dari segi tingkat kesukaran atau kemudahan wacananya sedangkan manfaat tinjauan keterbacaan cerita anak adalah mengetahui sesuai-tidaknya cerita anak bagi anak (rentang usia peruntukkan cerita anak) dilihat dari segi tingkat kesukaran atau kemudahan wacananya.
Dewasa ini sudah ada beberapa formula keterbacaan yang lazim digunakan untuk memperkirakan tingkat kesulitan sebuah wacana. Formula-formula keterbacaan yang lalu, bersifat sangat kompleks dan menuntut pemakainya untuk cermat dalam menghitung berbagai variabel.
Penelitian yang terakhir membuktikan bahwa terdapat dua faktor yang berpengaruh terhadap keterbacaan, yakni : (a) panjang-pendeknya kalimat, dan (b) tingkat kesulitan kosakata. Pada umumnya, semakin panjang kalimat dan semakin panjang kosakata-kosakata, maka bahan bacaan tersebut semakin sukar. Sebaliknya, bila kalimat dan kosakatanya pendek-pendek, maka bahan bacaan (wacana) tersebut tergolong sebagai wacana yang mudah. Semakin tinggi tingkat keterbacaan sebuah wacana, semakin mudah wacana tersebut dibaca. Sebaliknya, semakin rendah tingkat keterbacaan suatu wacana semakin sukar wacana tersebut untuk dibaca.
Formula keterbacaan juga memiliki keterbatasan tersendiri. Pertimbangan panjang-pendek kata dan tingkat kesulitan kata dalam pemakaian formula keterbacaan, semata-mata hanya didasarkan pada pertimbangan struktur permukaan teks. Struktur yang secara visual dapat dilihat. Sedangkan, konsep yang terkandung dalam bacaan sebagai struktur dalam dari bacaan tersebut tampaknya tidak diperhatikan. Dengan kata lain, rumusan formula-formula keterbacaan yang sering digunakan untuk mengukur tingkat keterbacaan tidak memerhatikan unsur semantis.Jika sebuah kalimat atau kata secara visual tampak lebih panjang, artinya kalimat atau kata tersebut tergolong sukar. Sebaliknya, jika sebuah kalimat atau kata yang secara visual tampak pendek, maka kalimat atau kata yang bersangkutan tergolong mudah.

Formula Keterbacaan Grafik “Fry
Dalam melakukan pengukuran keterbacaan, penulis menggunakan formula keterbacaan “Fry (grafik Fry)”. “Grafik Fry” merupakan hasil upaya untuk menyederhanakan dan mengefisienkan teknik penentuan tingkat keterbacaan wacana. Faktor-faktor tradisional seperti panjang-pendek alimat dan kata-kata sulit masih tetap digunakan. Kesukaran kata diperkirakan dengan cara melihat jumlah suku katanya. Grafik keterbacaan yang diperkenalkan Fry merupakan formula yang dipublikasikan pada tahun 1977 dalam majalah Journal of Reading. Grafik yang asli dibuat pada tahun 1968. Formula ini mendasarkan pengukuran keterbacaan pada dua faktor utama, yaitu panjang-pendeknya kalimat dan tingkat kesulitan kosakata yang ditandai oleh jumlah (banyak-sedikitnya) suku kata yang membentuk setiap kosakata dalam wacana tersebut.

Grafik Fry

Jumlah suku kata per seratus perkataan, yakni jumlah kata dari wacana sampel yang dijadikan sampel pengukuran keterbacaan wacana. Pertimbangan penghitungan suku kata pada grafik ini merupakan cerminan dari pertimbangan faktor kata sulit, yang dalam formula ini merupakan salah satu dari dua faktor utama yang menjadi landasan bagi terbentuknya formula keterbacaan dimaksud. Di sisi lain, jumlah kalimat per seratus perkataan merupakan perwujudan dari landasan lain faktor penentu formula keterbacaan yaitu faktor panjang-pendek kalimat. Angka-angka yang berderet di bagian tengah grafik dan berada di antara garis-garis penyekat dari grafik tersebut menunjukkan perkiraan peringkat keterbacaan wacana yang diukur. Angka 1 menunjukkan peringkat 1, artinya wacana tersebut cocok untuk pembaca dengan level peringkat baca 1 SD; angka 2 untuk peringkat aca 2 SD, angka 3 untuk peringkat baca 3 SD, dan seterusnya hingga universitas.
Daerah yang diarsir pada grafik yang terletak di sudut kanan atas dan di sudut kiri bawah grafik merupakan wilayah invalid. Maksdunya, jika hasil pengukuran keterbacaan wacana jatuh pada wilayah gelap tersebut, maka wacana tersebut kurang baik karena tidak memiliki peringkat mana pun. Oleh karena itu, wacana yang demikian sebaiknya tidak digunakan dan diganti dengan wacana lain. Seratus perkataan merupakan jumlah angka yang dianggap sebagai jumlah yang representatif untuk mewakili sebuah wacana.
Dalam menggunakan “grafik fry” terdapat beberapa langkah yang harus dilakukan, yaitu :
1.      Memilih penggalan yang representatif dari wacana yang hendak diukur tingkat keterbacaannya dengan mengambil 100 buah perkataan.
2.      Menghitung jumlah kalimat dari seratus buah perkataan tersebut hingga perpuluhan yang terdekat. Jika kata yang termasuk ke dalam hitungan 100 buah perkataan (sampel wacana) tidak jatuh di ujung kalimat, maka penghitungan kalimat tidak akan selalu untuh, melainkan akan ada sisa.
3.      Menghitung jumlah suku kata dari wacana sampel yang 100 buah perkataan tadi.
4.      Perhatikan “grafik fry”. Kolom tegak lurus menunjukkan jumlah suku kata per seratus kata dan baris mendatar menunjukkan jumlah kalimat per seratus kata. Data yang kita peroleh pada langkah 2, yakni rata-rata jumlah kalimat dan data yang kita peroleh pada langkah 3, yakni rata-rata jumlah suku kata siplotkan ke dalam grafik untuk mencari titik temunya. Pertemuan antara baris vertikal (jumlah suku kata) dan baris horizontal (jumlah kalimat) menunjukkan tingkat-tingkat kelas pembaca yang diperkirakan mampu membaca wacana yang terpilih itu. Jika persilangan baris vertikal dan horizontal itu berada pada daerah gelap atau daerah yang diarsir, maka wacana tersebut dinyatakan tidak absah.
5.      Tingkat keterbacaan ii bersifat perkiraan. Penyimpanganmungkin terjadi, baik ke atas maupun ke bawah. Oleh karena itu, peringkat keterbacaan wacana hendaknya ditambah satutingkat dan dikurangi satu tingkat.

Keterbacaan pada Lima Cerpen Aesop
Artikel ini akan menjabarkan secara singkat perihal keterbacaan lima cerita anak karya Aesop yang dijadikan sebagai sampel sebagaimana disebutkan sebelumnya. Setelah melakukan pengukuran keterbacaan terhadap kelima cerita anak tersebut, diperoleh hasil sebagai berikut : keterbacaan cerita anak (1) Kerbau dan Kambing dengan hasil penghitungan kalimat 5,11 dan hasil penghitungan suku kata 137, maka diperuntukkan bagi kelas 7 dengan jangkauan pembaca kelas 6, 7, atau 8 ; (2) Burung Gagak dan Sebuah Kendi dengan hasil penghitungan kalimat 6,23 dan hasil penghitungan suku kata 149, maka diperuntukkan bagi kelas 8 dengan jangkauan pembaca kelas 7, 8, atau 9 ; (3) Anjing dan Bayangannya dengan hasil penghitungan kalimat 5,91 dan hasil penghitungan suku kata 142, maka diperuntukkan bagi kelas 7 dengan jangkauan pembaca kelas 6, 7, atau 8 ; (4) Pemerah Susu dan Embernya dengan asil penghitungan kalimat 4,04 dan hasil penghitungan suku kata 141, maka diperuntukkan bagi kelas 9 dengan jangkauan pembaca kelas 8, 9, dan 10 dan ; (5) Semut dan Belalang dengan hasil penghitungan kalimat 5,62 dan hasil penghitungan suku kata 142, maka diperuntukkan bagi kelas 8 dengan jangkauan pembaca kelas 7, 8, atau 9.

Kesimpulan
Dari pemaparan hasil pengukuran keterbacaan terhadap lima cerita anak karya Aesop, dapat disimpulkan bahwa tiga cerita anak yakni, Burung Gagak dan Sebuah Kendi, Pemerah Susu dan Embernya, dan Semut dan Belalang memiliki keterbacaan yang cukup rendah dan diperuntukkan bagi anak usia SMP. Kemudian, dua cerita anak yakni, Kerbau dan Kambing dan Anjing dan Bayangannya memiliki keterbacaan yang cocok bagi cakupan peruntukkan cerita anak meskipun cakupan itu hanya dapat menyentuh batas maksimal peringkat keterbacaan bagi cerita anak yang seharusnya yaitu 6 SD. Cakupan peruntukkan cerita anak yang sesungguhnya adalah anak usia prasekolah hingga kelas 6 SD dengan demikian, cerita anak tersebut kurang tepat atau tidak sesuai bagi anak karena kalimatnya terlampau panjang dan kosakatanya terlampau sulit bagi peruntukkannya.
Artikel ini juga memberikan masukan berupa hal yang dapat diupayakan agar cerita anak tersebut tetap dapat diperuntukkan bagi anak, yakni dengan melakukan penurunan tingkat kesulitan wacana (cerita anak) melalui pemendekkan kalimat-kalimat dan penggantian kosakata-kosakata sulit seperti langkah berikut : (1) Mencari kosakata-kosakata sukar yang terdapat dalam wacana itu ; (2) Mengganti kosakata-kosakata yang sukar dengan kosakata-kosakata yang lebih mudah ; (3) Membaca kalimat-kalimat dalam wacana tersebut untuk mengetahui kemungkinan memendekkannya dengan jalan membaginya menjadi dua atau tiga buah kalimat ; (4) Menulis kembali wacana tersebut dengan menggunakan kosakata-kosakata yang lebih mudah dan kalimat-kalimat yang pendek dan ; (5) Mengukur tingkat keterbacaan wacana yang baru itu untuk mengetahui kesesuaiannya dengan peruntukkan pembaca.


Daftar Pustaka

Anderson, Nancy. 2006. Elementary Children’s Literature. Boston: Pearson Education.



Program Penyetaraan D-III Guru Sekolah Menengah Pertama Bab V Bahan Ajar Membaca dan keterbacaan.

Reitz, Joan M.  "children's book". ODLIS — Online Dictionary for Library and Information Science. http://lu.com/odlis/odlis_C.cfm#. Diakses pada 16 Juni 2011. 

Tarigan, Henry Guntur. 1979. Membaca Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Angkasa: Bandung.

The ALA Glossary of Library and Information Science. American Library Association. 2 Januari 1983. hlm. 41-42. 

Tidak ada komentar: