Beranda

Kamis, 20 Januari 2011

Kesantunan Berbahasa Para Tokoh Politik : Cermin Budaya Bangsa


oleh Siti Nurjanah 


  1. Pendahuluan
            Masih ingatkah kita peristiwa berlangsungnya sidang Pansus Hak Angket DPR mengenai Bank Century? Ketika itu sesama anggota dari fraksi yang berbeda saling mengejek dengan keras. Kata-kata makian seperti “bangsat” pun keluar dari mulut para anggota DPR yang terhormat itu. Begitupun ketika mengajukan pertanyaan kepada pejabat atau mantan pejabat pemerintah, mereka berbicara dengan keras tanpa kesantunan sedikitpun, persis seperti polisi kolonial dulu memeriksa penjahat kelas teri.
            Di luar gedung DPR suasananya tidak berbeda ricuhnya dengan keadaan di dalam gedung. Para pendemo yang nampaknya terdiri dari dua kubu yang berseberangan saling mengejek. Kata-kata seperti “Maling, Rampok, Bandit,” yang keluar dari satu kubu direspon dengan kemarahan dari kubu yang lain. terlebih lagi ketika kubu tersebut dengan seenaknya menginjak-injak dan membakar gambar foto pejabat yang masih aktif. Kemarahan kubu yang lain semakin menjadi-jadi sehingga semakin sukarlah petugas keamanan melerai kedua kubu itu.
            Bagaimana tanggapan umum mengenai kericuhan di Senayan tersebut? Kericuhan yang terjadi di luar gedung DPR memang diberitakan, tetapi tidak banyak dikomentari masyarakat. Justru tingkah polah anggota DPR saat sidang ricuh tersebutlah yang mendapat banyak komentar dari masyarakat. Ada yang mengatakan kericuhan itu adalah wajar-wajar saja karena mereka anggota DPR yang datang dari berbagai daerah dan budaya yang tidak sama. Ada juga yang mengatakan hal itu adalah wajar karena kita baru belajar berdemokrasi atau hal itu menunjukkan kedinamisan dalam proses berdemokrasi, dan sebagainya.
            Terlepas dari komentar-komentar itu, bila dilihat dari kajian pragmatik, para anggota DPR yang terhormat itu telah melanggar dua hal, yakni : pertama melanggar kesantunan berbahasa, dan kedua melanggar etika berbahasa. Kesantunan berbahasa diperoleh dari belajar berbahasa, sedangkan etika berbahasa bersumber dari “budi pekerti” dan bertingkah laku.
            Tingkah polah sebagian besar anggota DPR yang membuat kericuhan tersebut membenarkan pendapat Prof. Dr. Pranowo M.Pd., dalam pidato pengukuhan guru besarnya pada 15 Agustus 2009 di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta yang menyatakan, antara lain: pertama, banyak orang yang secara sosial tergolong level menengah atau atas (seperti para anggota DPR yang terhormat itu) tetapi secara kultural masih tergolong level dhipak bujang (kelas bawah). Kedua, kemampuan berbahasa secara santun tidak ditentukan oleh pangkat dan kedudukan atau jabatan, tetapi ditentukan oleh level budaya seseorang (Pranowo 2009: 33).
            Pendapat Profesor Pranowo tersebut mengusik batin saya, apakah ketidaksantunan berbahasa para anggota DPR tersebut mencerminkan budaya bangsa kita bahwasanya bangsa ini adalah bangsa urakan yang lebih mengandalkan otot daripada otak? Kemana sikap ramah tamah yang dulu kita banggakan? Dimana tenggang rasa yang dulu kita cita-citakan?

  1. Kesantunan Berbahasa dan Etika Berbahasa
            Pada hakikatnya, bahasa yang dimiliki dan digunakan oleh manusia tidak ada yang lebih baik atau lebih buruk. Seandainya ada bahasa yang sudah mampu mengungkapkan sebagian besar pikiran dan perasaan lebih dari bahasa yang lain, bukan karena bahasa itu lebih baik tetapi karena pemilik dan pemakai bahasa sudah mampu menggali potensi bahasa itu lebih dari yang lain. Jadi yang lebih baik bukan bahasanya tetapi kemampuan manusianya. Semua bahasa hakikatnya sama, yaitu sebagai alat komunikasi. Oleh karena itu, ungkapan bahwa bahasa menunjukkan bangsa tidak dimaksudkan untuk menyatakan bahwa bahasa satu lebih baik dari bahasa yang lain. Maksud dari ungkapan itu adalah bahwa ketika seseorang sedang berkomunukasi dengan bahasanya mampu menggali potensi bahasanya dan mampu menggunakannya secara baik, benar, dan santun merpakan cermin dari sifat dan kepribadian pemakainya.
            Pendapat Sapir dan Worf (dalam Wahab, 1995) menyatakan bahwa bahasa menentukan perilaku budaya manusia memang ada benarnya. Orang yang ketika berbicara menggunakan pilihan kata, ungkapan yang santun, struktur kalimat yang baik menandakan bahwa kepribadian orang itu memang baik. Sebaliknya, jika ada orang yang sebenarnya kepribadiannya tidak baik, meskipun berusaha berbahasa secara baik, benar, dan santun di hadapan orang lain; pada suatu saat tidak mampu menutup-nutupi kepribadian buruknya sehingga muncul pilihan kata, ungkapan, atau struktur kalimat yang tidak baik dan tidak santun.
            Beberapa pakar yang membahas kesantunan berbahasa antara lain, Lakoff (1972), Fraser (1978), Brown dan Levinson (1978), dan Lecch (1983). Secara singkat dan umum menurut para pakar tersebut ada tiga kaidah yang harus dipatuhi agar tuturan kita terdengar santun oleh pendengar atau lawan tutur kita. Ketiga kaidah itu adalah (1) formalitas, (2) ketidaktegasan, dan (3) kesamaan atau kesekawanan.
            Menurut Brown dan Levinson (1978) teori tentang kesantunan berbahasa itu berkisar atas nosi muka atau wajah, yakni “citra diri” yang bersifat umum dan selalu ingin dimiliki oleh setiap anggota masyarakat. Muka ini meliputi dua aspek yang saling berkaitan, yaitu muka negatif dan muka positif. Muka negatif itu mengacu pada citra diri setiap orang yang berkeinginan agar ia dihargai dengan jalan membiarkannya bebas melakukan tindakannya atau membiarkannya bebas dari keharusan mengerjakan sesuatu. Sedangkan  muka positif  mengacu pada citra diri setiap orang yang berkeinginan agar apa yang dilakukannya,  apa yang dimilikinya atau apa yang merupakan nilai-nilai yanh ia yakini diakui orang lain sebagai suatu hal yang baik, yang menyenangkan, dan patut dihargai. Karena ada dua sisi muka yaitu muka positif dan muka negatif, maka kesantunan pun dibagi menjadi dua, yaitu kesantunan negatif untuk menjaga muka negatif dan kesantunan positif untuk menjaga muka positif. Kesantunan ini dapat ditafsirkan sebagai upaya untuk menghindari konflik antara penutur dan lawan tuturnya di dalam proses komunikasi.
                                    Kesantunan sangat kontekstual, artinya berlaku dalam masyarakat, tempat, atau situasi tertentu, tetapi belum tentu berlaku bagi masyarakat, tempat, atau situasi lain. Kesantunan selalu memiliki dua kutub, seperti antara anak dan orang tua, antara tuan rumah dan tamu, antara pria dan wanita, antara murid dan guru, antara mahasiswa dan dosen,dan sebagainya (Muslich, 2006:1).
Kesantunan berbahasa tercermin dalam tata cara berkomunikasi lewat tanda verbal atau tata cara berbahasa. Ketika berkomunikasi, kita tunduk pada norma-norma budaya, tidak hanya sekedar menyampaikan ide yang kita pikirkan. Tata cara berbahasa harus sesuai dengan unsur-unsur budaya yang ada dalam masyarakat tempat hidup dan dipergunakannya suatu bahasa dalam berkomunikasi.
Tata cara berbahasa sangat penting diperhatikan para peserta komuniksi demi kelancaran komunikasi. Tata cara berbahasa seseorang dipengaruhi norma-norma budaya suku bangsa atau kelompok masyarakat tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa kebudayaan yang sudah mendarah daging pada diri seseorang berpengaruh pada pola berbahasanya. Itulah sebabnya kita mempelajari atau memahami norma-norma budaya sebelum atau disamping mempelajari bahasa. Sebab, tata cara berbahasa yang mengikuti norma-norma budaya akan menghasilkan kesantunan berbahasa (Muslich, 2006:2).
Berdasar kajian berbagai teori kesantunan di atas, teori kesantunan yang digunakan dalam kajian ini adalah teori kesantunan Brown dan Levinson karena teori tersebut beranjak dari teori sosiologis Goffman (1959) tentang sosiologi kehidupan sehari-hari, terutama dari bukunya The Presentation of Self in Everyday Life. Hal itu amat berguna untuk menjelaskan fenomena “topeng” dalam panggung politik, terutama peristiwa komunikasi politik. Salah satu topeng yang digunakan dalam pementasan diri adalah strategi kesantunan.
Bila kesantunan berbahasa lebih berkenaan dengan subtansi bahasanya, maka etika berbahasa lebih berkenaan dengan perilaku atau tingkah laku dalam bertutur. Dalam hal ini Masinambouw (1984) menagtakan bahwa sistem bahasa mempunyai fungsi sebagai sarana berlangsungnya suatu interaksi manusia di dalam masyarakat. Ini berarti di dalam tindak laku berbahasa haruslah disertai norma-norma yang berlaku di dalam budaya itu. Oleh Geertz (1976) sistem tindak laku berbahasa menurut norma-norma budaya itu disebut etika berbahasa atau tata cara berbahasa.
Etika berbahasa ini berkaitan erat dengan norma-norma sosial dan sistem budaya yang berlaku dalam suatu masyarakat. Sehingga etika berbahasa ini akan “mengatur” kita dalam hal (a) apa yang harus dikatakan kepada seorang lawan tutur pada waktu dan keadaan tertentu berkenaan dengan status sosial dan budaya dalam masyarakat itu; (b) ragam bahasa yang paling wajar digunakan dalam waktu dan budaya tertentu; (c) kapan dan bagaimana kita menggunakan giliran berbicara kita dan menyela atau menginterupsi pembicaraan orang lain; (d) kapan kita harus diam, mendengar tuturan orang; (e) bagaimana kualitas suara kita apakah keras, pelan, meninggi, dan bagaimana sikap fisik kita di dalam berbicara itu. Seseorang baru dapat dikatakan pandai berbahasa apabila dia menguasai tata cara atau etika berbahasa itu. Butir-butir “aturan” dalam etika berbahasa yang disebut di atas bukanlah merupakan hal yang terpisah satu sama lain, melainkan merupakan hal yang menyatu di dalam tindak laku berbahasa.

  1. Bahasa dan Politik
            Graber (1976) telah menemukan paling tidak ada lima fungsi bahasa politik. Pertama, fungsi informasional, yaitu pemberian fakta dan pemunculan konotasi dengan menggunakan kata-kata indah seperti “negeri yang makmur” atau “bapak pendiri bangsa”. Kata-kata dan frasa dalam dunia politik bisa membawa inferensi dan makna simbolik yang membantu pencapaian tujuan komunikator. Kedua, agenda-setting, yaitu sebuah proses di mana komunikator mencoba mengidentifikasikan dirinya dengan isu yang berkembang. Ketiga, interpretasi dan penghubungan, yang mengacu pada konstruksi dan penstrukturan pola makna dan asosiasi yang lebih luas. Keempat, proyeksi masa lalu dan masa depan (tradisi dan kontinuitas). Kelima, stimulasi tindakan ( fungsi “mobilisasi” dan  “pengaktifan” bahasa).
Studi bahasa politik juga menjadi persoalan sentral dalam tradisi lain dalam studi komunikasi politik, yang ditunjukkan oleh teori dan penelitian kritis atau Neo-Marxis. Salah satunya adalah  adanya analisis yang luas mengenai isi media massa, khususnya berita. Pemberitaan dalam media, apakah itu bersifat pribadi atau publik, muncul untuk membawa pesan konsensus sosial yang sedang berkuasa dan juga mendukung peraturan sosial dan politik yang sudah terwujud dan mapan dengan beragam cara, yaitu dengan memberi legitimasi dan perhatian untuk mewujudkan kekuasaan; dengan mendiamkan masalah dan mencari solusi alternatif; dengan mengarahkan perhatian kepada “kambing hitam”, dengan memberi label pada lawan politik sebagai ekstrimis yang mencoba menantang aturan yang sudah mapan dan semuanya di dalam sistem yang demokratis.

4.      Bahasa sebagai Cermin Budaya Bangsa
Banyak ahli dan peneliti sepakat bahwa bahasa dan budaya adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Sebut saja di antaranya Suryadi, dosen Politeknik Medan, dalam makalahnya Hubungan Antara Bahasa dan Budaya, yang disampaikan dalam seminar nasional “Budaya Etnik III” di Universitas Sumatera Utara 25 April 2009 kemarin. Ia menyebutkan bahwa bahasa adalah produk budaya pemakai bahasa. Sebelumnya, pakar-pakar linguistik juga sudah sepakat antara bahasa dan budaya memiliki kajian erat. Kajian yang sangat terkenal dalam hal ini adalah teori Sapir-Whorf. Kedua ahli ini menyatakan, “Jalan pikiran dan kebudayaan suatu masyarakat ditentukan atau dipengaruhi oleh struktur bahasanya” (Chaer, 2003:61).
Banyak pakar telah mengumpulkan berbagai macam definisi mengenai kebudayaan. Di antaranya adalah Nababan (1984), yang membagi definisi mengenai kebudayaan itu atas empat golongan, yaitu:
1.      Definisi yang melihat kebudayaan sebagai pengatur atau pengikat masyarakat.
2.      Definisi yang melihat kebudayaan sebagai hal-hal yang diperoleh manusia melalui belajar atau pendidikan.
3.      Definisi yang melihat kebudayaan sebagai kebiasaan dan perilaku manusia.
4.      Definisi yang melihat kebudayaan sebagai sistem komunikasi yang dipakai masyarakat untuk memperoleh kerja sama kesatuan dan kelangsungan hidup masyarakat manusia.
Budaya adalah pikiran, akal budi, yang di dalamnya juga termasuk adat istiadat (KBBI, 2005:169). Dengan demikian, budaya dapat diartikan sebagai sesuatu yang dihasilkan dari pikiran atau pemikiran. Maka tatkala ada ahli menyebutkan bahwa bahasa dan pikiran memiliki hubungan timbal-balik dapat dipahami bahwa pikiran di sini dimaksudkan sebagai sebuah perwujudan kebudayaan.
Bahasa yang dipakai oleh para anggota DPR tersebut telah melanggar kesantunan berbahasa serta etika berbahasa. Tidak ada alasan bagi mereka yang secara sosial memiliki kedudukan tinggi (seperti anggota DPR, pejabat tinggi negara, tokoh masyarakat, dll) untuk tetap mempertahankan kebiasaan dan perilaku budaya daerahnya dalam lingkup masyarakat nasional, apalagi internasional. Kesantunan berbahasanya tidak lagi harus diukur berdasarkan budaya masyarakatnya, tetapi harus diukur menurut norma-norma nasional.

5.    Simpulan
Kasus  di atas telah menunjukkan bahwa kesantunan sesungguhnya bermakna tingkah laku yang memadai dalam situasi tertentu, begitu pun dalam penggunaan bahasa. Dalam kesantunan berbahasa, penentu kesantunan bukan sekadar bentuk bahasa itu sendiri, tetapi bentuk bahasa plus konteksnya, yang antara lain terdiri atas latar penggunaan, partisipan, tujuan, instrumen, norma, dan genre. Karena itu, kesantunan bukanlah sesuatu yang bersifat statis. Kesantunan juga tidak bebas konteks karena dikendalai oleh nilai budaya.  
Akhirnya, dapat dinyatakan bahwa komunikasi politik memerlukan kesantunan berbahasa. Pemilihan strategi kesantunan yang tepat, akan dapat saling bisa menjaga muka, baik diri sendiri maupun orang lain, tanpa menghilangkan substansi yang menjadi persoalan pokok pembahasan di panggung politik. Kesantunan berbahasa juga dapat membantu menciptakan citra elegan di mata masyarakat.
Contoh kasus kericuhan sidang Pansus  Hak Angket DPR mengenai Bank Century memberikan pelajaran bahwa kritik, ketidaksetujuan, keluhan, dan sebagainya boleh saja dikemukakan dalam suatu panggung politik, tetapi jika salah memilih strategi kesantunan, justru konflik antarpartisipan yang muncul. Harus diingat bahwa bagi orang Indonesia, menurut hasil penelitian Gunarwan (1992: 201), memang ada kesejajaran di antara ketaklangsungan tindak tutur dan kesantunan pemakaiannya. Hanya saja, kesejajaran itu tidak selamanya berlaku. Artinya, semakin tidak langsung bentuk ujarannya, tidak selalu berarti semakin santun penggunaannya.


Daftar Pustaka

Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

——–.2003. Psikolinguistik, Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.

_____.2010. Kesantunan Berbahasa. Jakarta: Rineka Cipta.

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik. Jakarta: Rineka Cipta.

Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III. 2005. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional            Pusat Bahasa RI.

Lesmana, Tjipta. “Komunikasi Politik yang Brutal dan Anarkis.” http://www.reformata. com/ index.php?m=news&a=view&id=256&print=1


Suryadi. 2009. Hubungan Antara Bahasa dan Budaya. Universitas Sumatera Utara (makalah        Seminar Nasional Budaya Etnik III, diselenggarakan oleh Univesitas Sumatera Utara,            Medan 25 April 2009)                       

Tidak ada komentar: