oleh Kinanti Swastika
Pendahuluan
Hendro Martono mengatakan bahwa pembelajaran sastra adalah derita lama, namun masih dialami hingga saat ini[1]. Sebagai titik temu dari pembelajaran satra yang menjadi “derita lama”, maka guru dengan isi pembelajarannyalah yang menjadi objek utama dari timbulnya “derita lama”, hingga akhirnya berimbas pada siswa. Walaupun begitu, pernyataan ini, tidak diartikan bahwa pemerintah dengan kurikulum yang terus berganti-ganti tidak menjadi objek dalam dari timbulnya “derita lama” pembelajaran sastra. Singkatnya kurikulum dan guru serta isi pembelajaran akan bersinergi untuk menghasilkan siswa yang baik. Bila kurikulum berada di ranah tertinggi dalam pembelajaran yang tidak langsung bersinggungan dengan siswa, maka guru berada di ranah yang paling bersinggungan dengan siswa. Untuk itu tulisan ini akan mengkhususkan diri, membahas fenomena guru dan pembelajaran sastranya.
Sasaran sastra
Sebagai hal yang bersinergi, maka fenomena-fenomena guru dan pembelajaran sastranya akan saling terkait antara satu gejala dengan gejala lain, sehingga dalm tulisan ini akan mucul pengulangan “seperti yang diungkapkan sebelumnya atau di atas”. Kembali ke gejela-gejala pembelajarn sastra.
Sasaran pengajaran sastra yang baik adalah pemilikian pengetahuan dan apresiasi sastra yang sama[2]. Bila berangkat dari pernyataan ini, maka penerapan pembelajaran sastra di sekolah masih berorientasi pada pengetahuan sastra. Pengetahuan atau biasa disebut sebagai aspek kognitif, hanya meliputi teori-teori yang berkisar apa itu sastra, jenis dan ragam sastra, pembabakan sastrawan, gaya bahasa karya sastra dan sejarah sastra, sehingga pengembangan pembelajaran sastra di sisi apresiasi akan “diberhentikan” dari pembelajaran sastra. Terlebih sasaran utama dari hasil pembelajaran adalah lulus 100%, dan soal yang menentukan lulusnya siswa juga bersifat kognitif, hal ini pula yang menjadikan guru hanya berorientasi pada kognitif sastra bukan pengetahuan dan apresiasi satra.
Secara teknis guru bahasa umumnya tidak otomatis juga mampu menjadi guru satra [3]. Terlebih bila pembelajaran sastra membutuhkan bakat, maka sedikit saja yang memenuhi kualifikasi guru sastra. Namun yang menjadi titik berat adalah bahwa siswa akan berorientasi pada contoh yang dipraktikan guru. Selain orientasi siswa pada contoh yang diberikan guru, pengajaran sastra bukanlah hal yang otonom dalam pembelajaran yang terpisah dari kebahasaan. Maka, guru yang memenuhi kualifikasi tersebut adalah guru yang menyeimbangkan sasaran pengajaran sastra[4].
Penelitian A. Chaedar Alwasilah membuktikan bahwa di sekolah-sekolah, sastra hanya diajarkan sebanyak 23,6% saja[5]. Ini menunjukan bahwa ada keterkaitan antara fenomena hanya berorintasi pada pengetahuan dan kurangnya kompetensi guru mencontohkan apresiasi sastra. Hal ini disadari karena, bila melihat bagaimana banyaknya pengetahuan sastra, maka hal yang diajarakan hanya berkutat pada hal yang sama, tentu berimbas pada porsi pengajaran. Selain itu melihat “menghindar”nya guru saat mengharuskan guru mencontohkan apresiasi, maka juga akan berimbas pada presentase pembelajaran sastra.
Seperti yang disebutkan sebelumnya sebagai seorang yang berhubungan langsung dengan siswa, maka gejala-gejala yang ditunjukan guru dalam pembelajaran sastra akan berimplikasi pada siswa pula. Dalam hal ini sangat berimbas pada minat siswa terhadap satra. Siswa akan cendrung menjauhi karya sastra, apalagi terhadap karya sastra yang dianggap aneh[6] , bahkan akan berimbas lebih jauh lagi yakni memperlambat proses pencerdasan emosional dan spiritual siswa[7]. Sejalan hal tersebut Nenden Lilis juga menyebutkan kepekaan sosial, religi, kehalusan rasa, pembangunan nilai, moral, budi pekerti, dan sejenisnya, akan tidak terolah dan terasah[8].
Memanusiakan Manusia dengan Sastra
Sastra pada dasarnya adalah ungkapan sastrawan hasil pengalaman dan penghayatannya terhadap kehidupan[9]. Oleh karena itu, sastra mengandung banyak nilai kemanusiaan, moral, estetika dalam kehidupan dan bersifat keindividuan dengan banyak persoalaan[10]. Sejalan dengan hal tersebut disebutkan dalam tujuan kurikulum adalah meningkatkan apresiasi siswa terhadap sastra agar siswa memiliki kepekaan terhadap sastra yang baik dan bermutu yang akhirnya berkeinginan membacanya[11]. Kaitannya dalam hal ini adalah kontak dan reaksi kejiwaan dalam diri siswa[12]. Reaksi kejiwaan ini misalnya perasaan turut merasakan penderitaan orang lain, penilaian akan watak tokoh yang pantas dan tidak pantas diteladani, pemahaman yang lebih tajam dan dalam tentang berbagai sifat manusia, dan lain-lain.
Apresiasi tidak hanya sebagai alat penyejuk batin dari dampak reaksi jiwa, tetapi apresiasi satra mampu mencerdasakan siswa dari sisi penalaran, sisi melestarikan peradaban manusia dalam masyarakat modren karena sastra mengantarkan siswa di masyarakat sebagai satu hal yang mengandung ekspresi total dari para pengarangnya. Sebagai ekspresi total dari pengarangnya yang berisi tingkat-tingkat pengalaman bilogis, sosail, intelektual, dan religius, maka sastra akan berfungsi sebagai alat transfering. Transfering adalah kegiatan belajar dalam bentuk memanfaatkan pengetahuan dan pengalamannya berdasarkan konteks baru untuk mendapatkan pengetahuan dan pengalaman belajar yang baru[13].
Pemanfaatan apresiasi yang telah dijabarkan sebelumnya akan berdampak maksimal bila penerapan sastra sesuai kaidah pendidikan sastra. Memang terlihat janggal bila artikel ini baru menjabarkan kiadah pendidikan sastra yang semestinya, setelah penjabaran fenomena dan manfaat sastra itu sendiri. Artikel ini menekankan hal yang sama pada pembalajaran satra yang seharusnya. Tidak hanya menyajikan teori tetapi juga mengapresiasi, dalam hal ini mengapresiasi yang terjadi di sekolah.
Kembali ke pendidikan sastra, pendidikan sastra adalah pendidikan yang mencoba untuk mengembangkan kompetensi apresiasi, kritik, dan proses kreatif sastra[14]. Apresiasi sastra yang dibahas secara khusus dalam artikel ini, didalam pembelajaran sasra mampu menjadikan siswa sebagai siswa yang kreatif. Guilford mengelompokan siswa kreatif menjadi siswa yang mampu memahami masalah, mampu berpikir lancar, mampu berpikir luwes, mampu berorisinal, mampu mengaitkan hubungan yang jauh, mampu merumuskan ulang, mampu mengolabrasi, mampu menerima ketidakpastian, berminat pada pemikiran yang konvergen, dan berminat pada pikiran divergen.
Suminto A. Sayuti mengatakan terdapat korelasi positif antara pembalajaran sastra dengan bidang lain apabila pembelajaran sastra dilaksanakan dengan kreatif, dengan pilihan yang mampu merangsang daya kritis siswa[15]. Maka terdapat korelasi sastra dengan kebahasaan karena sasra dapat menigkatakan keterampilan kebahasaan dan bidang lainnya. Sastra dengan kebahasan di sekolah diterapkan dalam empat aspek kemampuan yang menjadi dasar dari pengembangan pembelajaran yakni menyimak dan membaca sebagai kemampuan reseptif dan kemampuan menulis dan berbicara sebagai kemampian produktif[16]. Kemampuan reseptif berdasarkan kemampuan penerimaan dan pemahaman masing-masing siswa, sedangkan kemampuan produktif berdasarkan kemampuan mengungkapkan gagasan secara lisan dan tulisan. Keterkatan kemampuan resptif dan produktif berangkat dari apresaiasi sastra yang langung menuju sasaran yakni karya sastranya. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa pengembangan kemampuan siswa diasah dengan berhadapan langsung dengan karya sastranya. Maka kemampuan reseptif dalam sastra adalah kemampaun menilai dan mengahargai sastra sebagai suatu ekspresi total. Kemudian kemampuan produktif dapat dikembangkan karena proses pencontohan dari karya sastra.
Karya sastra dengan ilmu-ilmu lain bersinggungan dari sisi tema karya sastra. Kinayati menjabarakan kaitan karya sastra dengan ilmu lain dalam bentuk diagram[17]. Diagram tersebut menggambarkan tema karaya sastra berkitan dengan lingkungan, teknologi, etika, agama, sejarah, estetika, biologi, filsafat, budaya, psikologi, dan pendidikan. Maka kaitan ini menjadi dasar penggunaan dan penyesuaian pembelajaran sastra di sekolah yang diterapakan oleh para guru bahasa yang sekaligus guru sastra.
Selanjutnya Sumardi memberikan gambaran umum mengenai pembelajaran apresiasi. Sumardi mengatakan bahwa apresiasi sebagai sarana menikmati, sebagai sarana menghikmahi, dan sarana memahami. Kemudia Sumardi menjabarkan bahwa apresiasi mendapat porsi sebanyak 75% dari pemeblajaran sastra, sedangkan sisanya diisi teori, kritk, dan sejarah sastra. Penjabaran ini semakin menjelaskan bahwa pengetahuan sastra hanya menjadi peran yang kecil dalam pembelajaran sastra di sekolah[18].
Media Pembelajaran yang Tepat untuk Apresiasi
Seperti yang dijelaskan Suminto bahwa terdapat korelasi antara pembelajaran sastra dengan yang lain. Rizanur Gani menawarkan pemikiran mengenai guru konstruktivistik. Guru konstruktivistik adalah guru yang mengenali adanya proses tatanan mandiri dalam pemecahan konflik kognitif yang dapat dijelaskan melalui pengalaman konkret, reflektif, dan kolaboratif di dalam kelas[19]. Senada dengan Gani, Sarumpaet megajukan model pembelajaran integratif. Sebuah model pembelajaran dengan menggunakan karya sastra sebagai wahana peningkatan ketrampilan berbahasa. Menurutnya sastra perlu diperkenalkan kepada siswa agar mereka sadar akan adanya sastra sebagai bagian dari keterampilan bahasa[20].
Selanjutnya Siswanto dan Balfas sama-sama mengatakan bahwa model pembelajaran kontesktual adalah model pembelajaran yang menawarkan strategi pembelajaran yang memungkinkan peserta didik aktif dan kreatif[21]. Kemudian model kontektual mampu menerapkan pengalaman hasil belajar ke dalam penggunaan dan kebutuhan praktis[22].
Simpulan
Berdasarkan dari hal-hal yang dijabarkan diatas bahwa yang mendapat proses paling besar dalam pembelajaran sastra adalah apresiasi, bukan hanya menyajikan teori-teori sastra. Pembelajaran apresiasi akan manghasilkan dampak yang baik terhadap pembelajaran kebahasaan dan ilmu lain. Apresiasi juga mampu mengedepanan aspek-aspek yang dibuthkan siswa sebagai proses interaksi di lingkungan siswa.
Pembelajaran kontekstual menjadi model pembelajaran yang dianggap mampu menghadirkan karya sastra di depan siswa, sehinga pembelajaran sastra mampu meningkatkan ketrampilan berbahasa.
Daftar Pustaka
Balfas, Anwar.“Mengembangkan Kemampuan Literasi Dan Berfikir Kritis Siswa Melalui Pembelajaran Sastra Berbasis Konteks” . Dalam kumpulan esai.
Djojosuroto, Kinayati. 2009. Pembelajaran Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Publisher.
Lilis, Nenden. “Upaya Meningkatkan Mutu Pembelajaran Sastra pada Jenjang Pendidikan Dasar: Sebuah Tawaran”. Dalam kumpulan esai.
Semi, Atar. Tt. Kritik Sastra Indonesia. Padang:Angkasa Raya.
Siswanto, Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo.
Tarigan , Henry, Guntur. 1994. Menulis sebagai Suatu Ketrampilan Bahasa Indonesia . Bandung : Angkasa.
[1] Djojosuroto, Kinayati, Pembelajaran Apresiasi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Publisher, 2009), hlm 1
[2] Lilis,Nenden “Upaya Meningkatkan Mutu Pembelajaran Sastra pada Jenjang Pendidikan Dasar: Sebuah Tawaran”, dalam kumpulan esai, hal 6
[3] Djojosuroto, Kinayati, Op.cit,hal 2
[4] Ibid, hal 3.
[5] Lilis, Nenden, Op.ci, hal2.
[6] Djojosuroto, Kinanyati, Loc.cit, hal 3
[7] Balfas, Anwar, “Mengembangkan Kemampuan Literasi Dan Berfikir Kritis Siswa Melalui Pembelajaran Sastra Berbasis Konteks” , dalam kumpulan esai, hal 4.
[8] Lilis, Nenden. Op.cit. hal 4.
[9] Semi, Atar, Kritik Sastra Indonesia, (Padang:Angkasa Raya), tt. hal 44
[10] Siswanto, Wahyudi, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), hal 89
[11] Djojosuroto, Kinayati. Op .cit. hal 4
[12] Lilis , Nenden. Op. Cit. Hal 7
[13] Balfas, Anwar. Op.cit, hal 8.
[14] Siswanto, Wahyudi. Op.cit, hal 168.
[15] Djojosuroto ,Kinayati. Op.cit , hal 9
[16] Henry Guntur Tarigan,Menulis sebagai Suatu Ketrampilan Bahasa Indonesia , (Bandung : Angkasa,1994), hal 14.
[17] Djojosuroto, Kinayati, Op.cit, hal 5.
[18] Ibid, hal 6.
[19] Ibid, hal 6.
[20] Ibid, hal 5.
[21] Siswanto, Wahyudi, Opcithal 174.
[22] Balfas, Anwar, Op.cit, hal 2.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar