Beranda

Minggu, 30 Januari 2011

Kedudukan dan Fungsi Kamus Besar Bahasa Indonesia di Lingkungan Akademisi

Oleh : Maulana Husada.

Pendahuluan
Heroiknya pengguna bahasa tak kan pernah mempunyai jurang pemisah untuk berkomunikasi satu sama lain. Bayangkan bila suatu individu dengan individu lain memiliki keterbatasan untuk berkomunikasi. Hal ini bukan tanpa solusi bila kamus yang telah menjawabnya. Hadirnya kamus sebagai identitas kekayaan negara akan selalu berdampingan dengan pengembangan bahasa di negara tersebut. Pengembangan bahasa yang dilakukan Pusat Bahasa akhirnya menerbitkan Kamus Besar Bahasa Indonesia hakikatnya membawa berkah sebagai usaha meningkatkan mutu pemakaian bahasa Indonesia yang telah menjadi bahasa negara.
Kamus sebagai salah satu usaha pengembangan bahasa Indonesia harus dilakukan, karena kita membutuhkan suatu alat komunikasi yang canggih untuk mempersatukan bangsa yang besar. Bangsa yang terbentang dari Sabang sampai merauke yang masyarakatnya multilingualisme. Masyarakat tersebut memiliki kesanggupan untuk memakai lebih dari dua bahasa. Keberagaman bahasa itu, pandangan dari segi politik merupakan suatu kendala yang besar dalam usaha mempersatukan bangsa.
Mengutip pernyataan Putu Wijaya dalam sebuah rubrik bahasa Majalah Tempo, “apa hanya dengan bersenjata kamus itu, seluruh teks, ekspresi, dan narasi dengan bahasa Indonesia, baik lisan maupun tulisan, menjadi jelas? Bagi orang Indonesia sendiri, jawabannya mudah. Karena bahasa tidak harus dimengerti tetapi dirasa. Tanpa kamus itu pun, segalanya sudah jelas. Kata-kata sudah menyambung rasa tanpa mesti lebih dulu dipahami. Tetapi, bagi mereka yang “ibunya” tidak berbahasa Indonesia, kamus itu pun masih belum cukup. Karena bahasa Indonesia seperti sebuah peta buta”. Oleh karena itu, kedudukan dan fungsi KBBI bagi masyarakat merupakan masalah nasional tidak hanya di lingkungan akademisi.

Kedudukan dan Fungsi Kamus
Kamus adalah buku yang berisi daftar kosakata suatu bahasa yang disusun secara alfabetis dengan disertai penejalsan makna dan keterangan lain yang diperlukan serta dilengkapi dengan contoh pemakaian entri (KBBI, 2008:671). Sedangkan Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kamus ekabahasa yang berisi tentang makna kata yang terdapat dalam bahasa Indonesia. Menurut Wikipedia, Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kamus resmi bahasa Indonesia yang disusun oleh Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa dan diterbitkan oleh Balai Pustaka. Kedudukan kamus ini menjadi acuan tertinggi bahasa Indonesia baku. Undang-undang Dasar 1945 menempatkan bahasa Indonesia pada posisi yang amat kuat. Bab XV Pasal 36 menyatakan, “Bahasa negara ialah Bahasa Indonesia, bukan saja sebagai bahasa penghubung melankan menajdi bahasa resmi kenegaraan.
Dewasa ini, kekayaan khazanah kosakata yang idealnya mempunyai jumlah kata yang tidak terbatas. Ketidakterbatasan merupakan akibat dari entri kamus yang selalu berkembang dan sangat dinamis. Istilah kamus besar yang menjadi judul kamus bahasa Indonesia ini bukan semata-mata menyiratkan ukuran atau bobot fisiknya, melainkan lebih mempunyai makna yang bersangkutan dengan banyaknya informasi yang terkandung di penggalian ilmu pengetahuan, teknologi, seni, serta peradaban Indonesia. Bukan persoalan mudah bila kekayaan suatu bahasa sampai pada waktu tertentu yang disusun dalam lema lengkap dengan segala nuansa maknanya. Nuansa makna diuraikan dalam bentuk definisi, deskripsi, contoh, sinonim, atau parafrasa.
Pada saat Indonesia menyatakan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, kata yang hendak dipakai untuk “pernyataan kemerdekaan” itu dalam bahasa Indonesia belum ada. Konsepnya ada, yaitu pernyataan kemerdekaan, tetapi istilah yang akan dipakai untuk itu belum ada. Peristiwa serperti itu tidak ada dalam bahasa Melayu dan bahasa daerah seluruh Indonesia. Untuk keperluan tersebut, bahasa Indonesia harus mencari sebuah kata yang dapat mengisi konsep itu. Kita akhirnya memilih kata proklamasi yang kita serap dari bahasa Inggris, proclamation. Pemunculan kata proklamasi merupakan hasil kegiatan pengembangan bahasa.
Pengembangan bahasa itu antara lain meliputi penelitian, pembakuan, dan pemeliharaan. Menurut Samuel Johnson, bapak leksikografi Inggris dan penyusunn Dictionary of Language (1755), menyatakan bahwa kamus berfungsi untuk menjaga kemurnian bahasa. Pendapat yang sama juga dinyatakan oleh Noah Webster, bapak leksikografi Amerika yang menyusun An American Dictionary of the English Language (1876), kamus  yang menurunkan beberapa generasi kamus yang memakai nama Webster di Amerika. Pembuatan kamus adalah salah satu cara pengembangan bahasa dan hasil kodifikasi bahasa yang menjadi bagian dari pembakuan bahasa tersebut.

Mengapa di Lingkungan Akademisi ?
Kehadiran kamus sebagai produk dalam usaha pengembangan bahasa tak terlepas dari kegiatan pembinaan bahasa. Konsep sederhana mengenai perbedaan kedua hal ini terletak pada sasarannya. Kegiatan pembinaan bahasa bersasaran orang atau masyarakat pemakai bahasa, sedangakan kegiatan pengembangan bersasaran bahasa itu sendiri. Dapat dikatakan bahwa pengembangan bahasa menghasilkan kata dan istilah sedangakan pembinaan bahasa memasyarakatkan kata itu ke khalayak.
Dari usaha pengembangan bahasa sejarah penerbitan KBBI, saat ini sejak KBBI terbit pertama kali pada tahun 1988 sudah mengalami 4 edisi. Edisi pertama memuat 62.100 lema yang tercetak ulang sebanyak tiga kali. Edisi Kedua terbit pada tahun 1991 yang memuat 72.000 lema yang tercetak ulang sebanyak 9 kali. Lalu edisi Ketiga yang terbit pada tahun 2005 memuat 78.000 lema yang tercetak ulang sebanyak 2 kali. Dan saat ini, Edisi keempat terbit pada tahun 2008 memuat lebih dari 90.000 lema dan sublema.
Dari uraian singkat di atas, jelaslah bahwa hubungan antara usaha pengembangan dan pembinaan sangat erat. Pembinaan akan dapat dilaksanakan apabila bahan yang dibina itu telah tersedia. Dalam hal ini tataran dalam lingkungan akademisi. Sebaliknya, hasil pembinaan pengembangan bahasa yang tidk diterapkan dalam kegiatan pembinaan merupakan kegiatan yang mubazir dan sia-sia. Oleh sebab itu keduanya harus saling mendukung.
Kamus merupakan sarana penting bagi pengajaran kosakata. Fenomena yang mudah kita amati, rasa kecintaan terhadap KBBI belum dapat kita ukur dengan statistika. Seberapa banyak mahasiswa ataupun dosen yang memiliki KBBI dibandingkan dengan kamus asing (Bahasa Inggris). Hal ini merupakan persoalan yang sulit bila tidak adanya upaya pengembangan dan pembinaan bahasa secara sinergis. Oleh karenanya peran dari sektor lingkungan akademisi menjadi langkah awal pembenahan pembinaan bahasa.
Salah satu kegiatan pembinaan bahasa dapat ditempuh dengan melakukan penyuluhan bahasa dan bimbingan kebahasaan dengan berbagai jalur. Jalur yang paling sentral adalah jalur sekolah. Jalur sekolah merupakan jalur yang paling baik dalam membentuk bahasa guru  sebagai pendidik dan pembentuk generasi muda. Alisjahbana (1962) mengatakan bahwa sistem persekolahan merupakan sarana penyebar bahasa kebangsaan (maksudnya bahasa Indonesia) yang amat penting. Melalui jalur ini tentu akan efektif memperkenalkan KBBI sejak dini kepada peserta didik.

Citrakan Kamus Senjata Bangsa
Kamus dapat menjadi senjata dalam usaha pengembangan bahasa Indonesia. Melalui kamus, khazanah perbendaharaan bahasa yang menggambarkan tingkat peradaban bangsa yang memilikinya. Oleh karenanya kamus merupakan sesuatu yang dibanggakan oleh setiap bangsa yang memilikinya karena hal tersebut adalah sebuah kebudayaan besar.
Peningkatan pengembangan bahasa Indonesia harus dilakukan sedemikian rupa sehingga bahasa Indonesia memenuhi syarat sebagai bahasa kebudayaan, keilmuan, teknologi atas dasar standarisasi atau pembakuan bahasa. Standarisasi bahasa dilakukan dengan mempertimbangkan data kebahasaan di Indonesia melalui evaluasi dan seleksi. Hasil akhir dari kegiatan pengembangan bahasa tersebut merupakan bahasa baku. Bagan berikut ini memberikan gambaran tenang proses pembakuan bahasa Indonesia.



                                                                                                                kebijakan bahasa
                                -- bahasa asing                                                                 |
Data kebahasaan   -- bahasa Indonesia  >>  evaluasi dan seleksi  >>  pembakuan  >>  bahasa baku  >>  evaluasi
                   -- bahasa daerah


Bagan di atas menunjukkan bahwa tujuan pengembangan bahasa adalah “pembakuan bahasa” atau “standarisasi bahasa” yang akhirnya akan diperoleh “bahasa baku” dan selanjutnya dientri pada kamus. Untuk itu, diperlukan kebijakan bahasa sebagai suatu garis haluan yang meletakkan ciri-ciri pembakuan bahasa itu. Pembakuan bahasa tersebut mencakup beberapa aspek ejaan, aspek struktur, dan aspek diksi. Contoh pembakuan bahasa melalui aspek ejaan atau unsur serapan dari kata asing.
a.    Semua kata asing berkonsonan ganda dapat mungkin akan diserap menjadi kata yang berkonsosnan tunggal.
Kata villa menjadi vila.
b.    Semua kata asing berakhiran –ity akan diserap menjadi –itas.
Kata activity diserap menajdi kata aktivitas.

Kesimpulan
Kehidupan bahasa yang multilingual bukanlah menjadi penghalang bagi kita untuk berkomunikasi. Kamus sebagai salah satu usaha pengembangan bahasa Indonesia harus dilakukan, karena kita membutuhkan suatu alat komunikasi yang canggih untuk mempersatukan bangsa yang besar. Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kamus ekabahasa yang berisi tentang makna kata yang terdapat dalam bahasa Indonesia. Kedudukan kamus ini menjadi acuan tertinggi bahasa Indonesia baku. Pembuatan kamus adalah salah satu cara pengembangan bahasa dan hasil kodifikasi bahasa yang menjadi bagian dari pembakuan bahasa.
Sektor lingkungan akademisi menjadi langkah awal pembenahan pembinaan bahasa. Jalur sekolah merupakan jalur yang paling baik dalam membentuk bahasa guru sebagai pendidik dan pembentuk generasi muda. Melalui jalur ini tentu akan efektif memperkenalkan KBBI sejak dini kepada peserta didik.
Kamus dapat menjadi senjata dalam usaha pengembangan bahasa Indonesia. Oleh karenanya kamus merupakan sesuatu yang dibanggakan oleh setiap bangsa yang memilikinya karena hal tersebut adalah sebuah kebudayaan besar.

Daftar Pustaka

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1990. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang  Disempurnakan. Jakarta : Balai Pustaka. 

Majalah Tempo. Kamus. 13 Desember 2010. 

Tasa, S. Amran dan Zainal Abdul Rozak. 2009. Materi Pokok Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa Indonesia. Jakarta : Universitas Terbuka.

Pusat Bahasa. 2003. Buku Praktis 1 dan 2. Jakarta. Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional. 

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.

Jumat, 28 Januari 2011

Fenomena Mahkluk Fantasi sebagai Tokoh Imajiner dalam Novel Terjemahan Twilight karya Stephanie Meyer dan Need karya Carrie Jones


oleh Sheila Novelia

Latar Belakang
Tahun-tahun belakangan ini, fenomena Novel bergenre supranatural thriller yang menghadirkan makhluk fantasi seperti vampir, naga, peri, drakula dan semacamnya menjadi tren yang digemari para penikmat cerita fiksi yang kebanyakan remaja. Suatu cerita dalam prosa fiksi selalu didukung oleh sejumlah tokoh atau pelaku-pelaku tertentu. Pelaku yang mendukung peristiwa sehingga mampu menjalin suatu cerita disebut tokoh. Sebagaimana pendapat Atar Semi (1988: 36) bahwa kehadiran penokohan dan perwatakan dalam sebuah karya fiksi sangat penting, dan bahkan diceritakan tidak mungkin ada cerita tanpa tokoh yang bergerak dan akhirnya membentuk alur cerita. Fiksi sering pula disebut cerita rekaan hasil pengolahan pengarang berdasarkan pandangan, tafsiran, dan penilaian tentang peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi ataupun pengolahan tentang peristiwa-peristiwa yang hanya berlangsung dalam khayalan (Semi, 1988: 31).
Pasca boomingnya Twilight’s Meyer, novel-novel serupa dengan mahluk fantasi sebagai tokoh imajiner mulai bermunculan, salah satu diantaranya adalah Need karya Carrie Jones. Meski genrenya serupa dan sama-sama menghadirkan sosok fantasi, novel Need dan Twilight disajikan berbeda dan khas dengan menggunakan tokoh andalannya masing-masing. Meyer dan Jones menghadirkan sosok fantasi sebagai bagian dalam cerita dan meletakan dunia fantasi dan dunia nyata secara berdampingan. Tema sentral dalam kedua novel ini merupakan perjalanan tokoh wanita yang berasal dari dunia nyata yang kemudian masuk ke dunia lain dikelilingi mahluk fantasi. Twilight dan Need dimasukan kedalam kategori fairy-story karena latar dunia fantasi yang dibangun dalam kedua novel.
Novel Twilight dan Need menjadi pilihan saya karena sangat menarik untuk dikaji. Kelebihan novel ini terletak pada masing-masing tokoh imajiner yang berupa makhluk fantasi sekaligus ceritanya yakni tentang pelarian seorang manusia dan sebuah dilema antara tetap pada dunia nyata atau dunia fantasi. Dalam beberapa literatur fantasi ada satu alur yang sering digunakan. Alur ini dimulai dengan perjalanan seseorang yang berasal dari dunia nyata kemudia disengaja atau tidak pergi ke sebuah dunia fantasi tempat ia mengalami berbagai petualangan. Teks yang memiliki alur seperti ini antara lain The Chronicles of Narnia oleh C.S Lewis, Alice in Wonderland oleh Lewis Carrol, Harry Potter oleh JK Rowling dan yang paling terkenal saat ini adalah Twilight Saga oleh Stephanie Meyer dan disusul Need karya Carrie Jones.
Karya Carrie Jones, yang satu ini telah terdaftar dalam perkumpulan buku-buku fiksi terbaik VOYA. Karya sebelumnya adalah Jones's Girl, Hero yang berkisar tentang siswa yang juga seorang aktris dengan kehidupan yang bermasalah, karya ini dirilis tahun 2008 dan mendapatkan penghargaan dari Lembaga Sastra Untuk Remaja, The Assembly on Literature for Adolescents.   Dale McGarrigle dari Bangor Daily News menyatakan bahwa meskipun Need memiliki daya tarik untuk remaja dan merupakan yang terbaik dalam genrenya, novel ini akan menarik pembaca dewasa juga, serta akan memenuhi kebutuhan bagi banyak orang. Jika dilihat dari karya-karya sebelumnya, Need merupakan karya pertama dengan mahluk fantasi, Jones tidak menghadirkan makhluk fantasi pada karya-karya sebelumnya. Sedangkan, Stephanie Meyer selalu menghadirkan makhluk fantasi sebagai tokoh imajiner dalam karyanya disamping Twilight, yaitu The Host.
Tokoh utama yang dipasangkan dan berdampingan dengan makhluk fantasi dalam sebuah cerita menjadi sesuatu yang selalu menarik, dan fenomena tersebut tidak terlepas dari psikologi sastra.
Bagaimanapun juga artikel ini adalah sebuah kritik seni yang ditulis oleh seorang penikmat cerita fiksi bergenre supranatural thriller. Kritik seni ini baru sampai pada tahap deskripsi dimana penulis mengumpulkan data karya seni berupa cerita fiksi kemudian menghubungkan sebuah karya dengan karya lain yang sejenis, untuk menentukan kadar artistik dan faedah estetiknya.

Pendekatan Psikologi Sastra
Dari uraian diatas telah terlihat bahwa fenomena tersebut terkait dengan psikologi. Hal ini tidak lepas dari pandangan dualisme yang menyatakan bahwa manusia pada dasarnya terdiri atas jiwa dan raga. Penelitian yang menggunakan psikologi terhadap karya sastra merupakan bentuk pemahaman atas penafsiran karya sastra dari sisi lain (Paryanto, 2003: 17). Orang dapat mengamati tingkah laku tokoh-tokoh dalam sebuah roman atau drama dengan pertolongan psikologi.
Pada dasarnya psikologi sastra memberikan perhatian pada masalah yang berkaitan dengan unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional yang terkandung dalam sastra. Aspek-aspek kemanusiaan inilah yang merupakan objek utama psikologi sastra sebab semata-mata dalam diri manusia itulah aspek kejiwaan dicangkokkan dan diinvestasikan. Penelitian psikologi sastra dilakukan dengan dua cara. Pertama, melalui pemahaman teori-teori psikologi diadakan analisis terhadap suatu karya sastra. Kedua, dengan terlebih dahulu menentukan sebuah karya sastra sebagai objek penelitian, kemudian ditentukan teori-teori psikologi yang dianggap relevan untuk melakukan analisis (Ratna, 2004: 344). Pada penelitian ini menggunakan cara yang kedua, yakni dengan menentukan sebuah karya sastra sebagai objek penelitian, kemudian menentukan teori-teori psikologi yang dianggap relevan untuk melakukan analisis.
Siswantoro menyatakan sastra berbeda dengan psikologi sebab sebagaimana kita pahami sastra berhubungan dengan dunia fiksi, drama, puisi, dan esay yang diklasifikasikan ke dalam seni, sedangkan psikologi merujuk pada studi ilmiah tentang perilaku manusia dan proses mental.[1] Meski berbeda keduanya memiliki titik temu atau bereaksi terhadap diri dan lingkungannya, dengan demikian gejala kejiwaan dapat terungkap lewat perilaku tokoh dalam sebuah karya sastra. Sastra dan psikologi mempunyai hubungan fungsional yaitu sama-sama untuk mempelajari keadaan kejiwaan orang lain. Perbedaannya, gejala dan diri manusia dalam sastra adalah imajiner, sedangkan dalam psikologi adalah manusia-manusia riil (nyata). Keduanya dapat saling melengkapi dan mengisi untuk memperoleh pemaknaan yang mendalam terhadap kejiwaan manusia (Nawang, 2007: 23). 
Psikologi ditafsirkan sebagai lingkup gerak jiwa, konflik batin tokoh-tokoh dalam sebuah karya sastra secara tuntas. Dengan demikian, pengetahuan psikologi dapat dijadikan sebagai alat bantu dalam menelusuri sebuah karya sastra secara tuntas (Darmanto, 1985: 164). Sebagai disiplin ilmu, psikologi sastra ditopang oleh tiga pendekatan, yaitu (1) pendekatan ekspresif, yaitu aspek psikologi kajian penulis dalam proses kreativitas yang terproyeksi lewat karya sastra, (2) pendekatan tekstual, yaitu mengkaji aspek psikologi sang tokoh dalam sebuah karya sastra, (3) pendekatan reseptif pragmatik yang mengkaji aspek psikologi pembaca yang terbentuk setelah melakukan dialog dengan karya yang dinikmatinya serta proses kreatif yang ditempuh dalam menghayati teks (Aminuddin, 1990: 89). Dalam hal ini, fenomena makhluk fantasi sebagai tokoh imajiner dalam novel Twilight dan Need, menggunakan pendekatan tekstual yaitu mengkaji aspek psikologi tokoh utama dalam sebuah karya sastra. Dalam hal ini, karya sastra merupakan gambaran kejiwaan manusia yang menciptakan karya sastra itu sendiri.

Teori Kepribadian Humanistik Abraham Maslow
Psikologi humanistik diperkenalkan oleh sebagian sekelompok ahli psikologi pada awal tahun 1960-an bekerja sama di bawah kepemimpinan Maslow dalam mencari alternatif dari dua teori yang sangat berpengaruh atau pemikiran intelektual dalam psikologi (Koeswara, 1986: 112). Psikologi humanistik adalah sebuah sebuah gerakan yang muncul dengan menampilkan gambaran manusia baik dari psikoanalisis maupun behaviorisme, yakni gambaran manusia sebagai makhluk yang bebas dan bermartabat serta selalu bergerak ke arah pengungkapan segenap potensi yang dimilikinya apabila lingkungan memungkinkan (Koeswara, 1986: 109). Sebagaimana yang kita ketahui yang menjadi pemimpin atau bapak dari psikologi humanistik adalah Abraham Maslow.
Teori Abraham Maslow tentang motivasi dapat diterapkan pada hampir seluruh aspek kehidupan pribadi serta kehidupan sosial. Orang biasa dimotivasikan dengan serba kekurangan. Ia berusaha memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya akan rasa aman, rasa memiliki, rasa kasih sayang, penghargaan serta harga diri. Orang yang sehat terutama dimotivasikan oleh kebutuhan untuk mengembangkan serta mengaktualisasikan kemampuan-kemampuan serta kapasitaskapasitasnya secara penuh. Dengan kata lain, orang yang sehat terutama digerakkan oleh hasrat untuk mengaktualisasikan diri. Banyak tingkah laku manusia yang dapat diterangkan dalam memperhatikan tendensi individu untuk mencapai tujuan-tujuan personal yang membuat kehidupan bagi individu yang bersangkutan penuh makna dan memuaskan (Maslow dalam Koeswara, 1986: 118).
Maslow melukiskan manusia sebagai makhluk yang tidak pernah berada dalam keadaan yang sepenuhnya puas. Manusia dimotivasikan oleh sejumlah kebutuhan dasar yang bersifat sama untuk seluruh spesies, tidak berubah dan berasal dari sumber genetis dan naluriah. Bagi manusia, kepuasan itu sifatnya sementara. Jika suatu kebutuhan telah terpuaskan, kebutuhan-kebutuhan lainnya akan menuntut kepuasan. Dengan demikian, kebutuhan-kebutuhan itu juga bersifat psikologis bukan semata-mata fisiologis. Maslow mengajukan gagasan bahwa kebutuhan yang ada pada manusia adalah pembawaan, tersusun menurut tingkatan. Oleh Maslow (dalam Koeswara, 1986: 117-118) kebutuhan manusia yang tersusun bertingkat itu dirinci ke dalam lima tingkatan kebutuhan, yaitu
a. kebutuhan-kebutuhan dasar fisiologis,
b. kebutuhan akan rasa aman,
c. kebutuhan akan cinta dan memiliki,
d. kebutuhan akan harga diri,
e. kebutuhan akan aktualisasi diri.
Maslow menyebutkan bahwa kebutuhan fisiologis adalah sekumpulan kebutuhan dasar yang paling mendesak pemuasannya karena berkaitan langsung dengan pemeliharaan biologis dan keberlangsungan hidup. Kebutuhan-kebutuhan dasar fisiologis yang dimaksud, yaitu kebutuhan akan makanan, miniman, tempat berteduh, seks, tidur, dan oksigen. Kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan yang paling mendesak dan didahulukan pemuasannya oleh individu. Jika kebutuhan fisiologis ini tidak terpenuhi atau tidak terpuaskan, individu tidak akan bergerak untuk bertindak memuaskan kebutuhan-kebutuhan lain yang lebih tinggi. Apabila kebutuhan fisiologis individu telah terpuaskan, dalam diri individu akan muncul kebutuhan yang dominan terhadap individu dan menuntut pemuasan akan kebutuhan rasa aman.
Yang dimaksud oleh Maslow dengan kebutuhan akan rasa aman ini adalah suatu kehutuhan yang mendorong individu untuk memperoleh ketentraman, kepastian, dan keteraturan dari keadaan lingkungan. Kebutuhan akan rasa cinta dan memiliki adalah suatu kebutuhan yang mendorong individu untuk mengadakan hubungan efektif ikatan emosional dengan individu lain, baik dengan sesama jenis maupun dengan yang berlawanan jenis, di lingkungan keluarga ataupun lingkungan kelompok masyarakat.
Kebutuhan akan rasa harga diri dibagi menjadi dua kebutuhan, yakni harga diri dan penghargaan dari orang lain (Maslow, dalam Surpatiknya, 1991: 76). Bagian pertama kebutuhan harga diri meliputi kebutuhan akan kepercayaan diri, kompetisi, penguasaan, kecukupan, prestasi, ketidaktergantungan, dan kebebasan. Bagian kedua, penghargaan dari orang lain meliputi prestise, pengakuan, penerimaan, perhatian kedudukan, nama baik, serta penghargaan. Kebutuhan akan aktualisasi diri merupakan kebutuhan manusia yang paling penting dalam teori Maslow tentang motivasi pada manusia. Kebutuhan akan aktualisasi diri sendiri adalah hasrat untuk makin menjadi diri sepenuhnya sesuai dengan kemampuan dan potensi yang ada pada dirinya.

Keterkaitan Tokoh Imajiner dengan Tokoh Utama
Dalam novel Twilight’s Meyer, tokoh Bella pada akhirnya memilih untuk hidup dalam dunia fantasi dan meninggalkan jati dirinya sebagai manusia dari dunia nyata tempat ia berasal, sang tokoh utama kemudian hidup berdampingan tokoh imajiner dan menjadi bagian dari vampir yang merupakan makhluk fantasi. Hal serupa juga terjadi dalam Need’s Jones karena tokoh Zara juga memilih untuk berdampingan dengan dunia fantasi tempatnya mengalami berbagai petualangan. Dilihat dari fenomena mengapa sang tokoh lebih memilih berdampingan dengan sang tokoh imajiner, pada kehidupan dari dunia nyata tempat asal mereka, Bella dan Zara sama-sama mengalami keterpurukan, perasaan tidak mendapatkan tempat di dunia, tidak menemukan jati diri mereka sebagai manusia dan pelarian terhadap sesuatu. Karakter mereka hampir sama, sama-sama takut menghadapi sekolah baru, teman-teman baru dan kekhawatiran kesulitan untuk bersosialisasi. Ini berkaitan dengan teori kepribadian humanistik oleh Abraham Maslow yang telah dibahas sebelumnya. Berikut adalah kutipan yang menggambarkan karakter Bella, sang tokoh utama.
“Rasanya menyenangkan bisa sendirian, tidak harus tersenyum dan tampak gembira; lega bisa memandang murung ke luar jendela, memandangi hujan lebat dan membiarkan kesedihanku mengalir. Aku tidak sedang mood untuk menangis habis-habisan. Aku akan menyimpannya sampai saat tidur nanti, ketika aku harus memikirkan esok pagi.
Total SMA Forks hanya memiliki sangat sedikit murid yaitu 357-sekarang ada aku berarti 358, sementara murid SMP di tempat asalku dulu ada lebih dari tujuh ratus orang. Semua murid disini tumbuh bersama-sama-kakek nenek mereka menghabiskan masa kecil bersama. Aku akan menjadi anak perempuan baru dari kota besar, mengundang penasaran, orang aneh.
Barangkali takkan begitu jadinya bila aku berpenampilan seperti layaknya anak perempuan dari Phoenix . tapi secara fisik aku tak pernah cocok berada dimanapun.
Memandangi pantulan wajah pucatku di cermin, aku terpaksa mengakui sedang membohongi diri sendiri. Bukan secara fisik saja aku tak pernah cocok. Dan kalau aku tak bisa menemukan tempat di sekolah berpopulasi tiga ratus orang, kesempatan apa yang kupunyua disini?
Hubunganku dengan orang-orang sebayaku tidak bagus. Barangkali sebenarnya hubunganku dengan orang-orang tak pernah bagus, titik. Bahkan ibuku, orang terdekat denganku dibandingkan dengan siapapun di dunia ini, tak pernah selaras denganku, tak pernah benar-benar sepaham. Kadang-kadang aku membayangkan apakah aku melihat hal yang sama seperti yang dilihat orang lain di dunia ini”(Twilight. Hal.21-22).
Dari kutipan diatas tergambar karakter Bella sebagai tokoh utama, seorang yang tidak percaya diri, merasa dirinya aneh, khawatir terhadap berbagai hal, bahkan phobia sepert juga pada karakter Zara yang tercermin dalam kutipan berikut.
“Mnemophobia adalah suatu ketakutan yang nyata. Aku tidak mengarangnya. Aku bersumpah. Kau bisa merasa takut terhadap kenangan-kenanganmu. Tidak ada tombol untuk mematikan otakmu secara mudah. Pasti rasanya akan sangat, sangat menyenangkan jika ada tombol semacam itu.
Jadi aku menusukkan jari-jariku ke kedua kelopak mataku, berusaha untuk memaksa diriku agar berhenti mengingat-ingat sesuatu. Aku berfokus kepada masa kini, saat ini. Seperti itulah yang selalu diperintahkan orang-orang talk-show kepadamu: hidup untuk hari ini.
Aku membelitkan benang putih di sekeliling jariku saat ayahku meninggal. Aku terus memakainya untuk mengingatkanku, bahwa aku pernah merasa marah, pernah memiliki seorang ayah, yang hidup.
Ibuku mengirimkan aku kesini karena selama empat bulan aku tidak mampu tersenyum. Selama empat bulan aku tidak mampu menangis, merasakan atau melakukan apapun”(Need. Hal.5-7)
Fantasi memiliki fungsi positif bagi mereka yang masuk ke dalamnya. Fairy-story dianggap sebagai literatur eskapis karena mampu membuat para pembacanya melarikan diri sejenak dari masalah yang dihadapi. Tolkien dalam hal ini kemudian menyamakan pembacaan dan penciptaan literatur fantasi sebagai perjalanan ke dunia fantasi. Para penikmat fantasi dapat dianggap seolah-olah sebagai seseorang yang melakukan perjalanan dan petualangan di dalamnya. Hal ini kemudian dihubungkan dengan perjalanan Bela dan Zara ke dalam dunia fantasi yang senada dengan pendapat Tolkien tersebut. Seiring dengan itu pula maka tindakan kedua tokoh ini sekilas memperlihatkan eskapisme keduanya.
Dunia fantasi sering dianggap sebagai media eskapis yang bernada negatif karena fantasi seperti menyediakan tempat bagi mereka yang ingin melarikan diri dari dunia nyata dan menghindarkan kenyataan hidup yang dihadapi. Hal ini kemudian membuat fantasi dianggap sebagai sesuatu yang kekanak-kanakan sehingga harus dijauhi (Day, 2003:14).
Tokoh Edward yang merupakan vampir menjadi pilihan Stephanie Meyer sebagai tokoh imajiner dalam Twilight. Sosok vampir disini digambarkan sebagai manusia rupawan, kuat dan terkesan cool. Lihat saja kutipan dalam Twilight berikut ini “Tentu saja ia tidak tertarik padaku, pikirku marah, mataku perih-jelas nukan karena irisan bawang. Aku tidak menarik. Sementara Edward benar-benar menarik ...dan pintar...dan misterius...dan sempurna....dan tampan......dan barangkali bisa mengangkat van berukuran besar dengan satu tangan.” (Twilight. Hlm.91)
Sosok hero merupakan sosok yang tidak asing dan selalu menjadi pilihan bagi setiap penulis cerita semacam ini. Tokoh imajiner yang merupakan makhluk fantasi ini seolah berperan sebagai hero dalam kehidupan sang tokoh utama. Namun tak semua makhluk fantasi tersebut mendukung peran tokoh utama. Ada juga beberapa dari mereka yang menjadi rival dari tokoh utama. Dalam novel Twilight, tidak semua vampir dapat hidup berdampingan dengan manusia tanpa membunuh, begitu juga dalam Need, peri dalam novel tersebut tidak berperan sebagai hero melainkan musuh dari tokoh utama sendiri.
Pilihan makhluk fantasi menjadi daya tarik tersendiri bagi Stephanie Meyer, Carrie Jones maupun penulis cerita fiksi lainnya. Makhluk fantasi menjadi sesuatu yang berbeda yang tentunya tidak dapat kita temukan dalam kehidupan nyata. Semuanya kembali kepada kita sebagai pembaca dan penikmat fiksi, bacaan seperti Twilight dan Need bisa menjadi pilihan untuk melepas penat ari rutinitas sehari-hari, membangkitkan daya imajinasi dan menghibur dalam artian positif. Setuju dengan pendapat Tolkien yang menyampaikan bahwa imajinasi tidak boleh dikungkung dan harus dibiarkan bebas karena hal inilah yang membuat seseorang hidup. Tidak selamanya fiksi menggambarkan hal-hal yang tidak nyata, ada juga objek lazim seperti matahari, rumput dan laut, kesemuanya itu adalah objek nyata yang kita temui sehari-hari, objek tersebut memiliki pesona dibaliknya, dan yang bisa melihat pesona dibaliknya hanyalah orang-orang yang tersihir yaitu mereka yang mampu melihat makna dibalik keberadaan objek tersebut. Imajinasi adalah suatu hal yang penting karena dengan imajinasi, manusia bisa menyadari dan menghargai kehidupan.
Penggambaran tokoh Edward sebagai makhluk fantasi dengan perannya sebagai hero bagi tokoh utama dalam Twilight dapat dalam kutipan berikut.
“Aku predator terbaik di dunia, bukankah begitu? Segala sesuatu tentang diriku mengundangmu mendekat  suaraku, wajahku bahkan aromaku.” Tak disangka sangka ia sudah bangkit berdiri, pergi, langsung lenyap dari pandangan, dan muncul kembali di bawah pohon yang sama seperti sebelumnya, setelah mengelilingi padang rumput hanya dalam setengah detik.
“seolah kau bisa kabur dariku saja”, ia tertawa getir.
Ia mengulurkan satu tangannya, dan tanpa kesulitan mematahkan dahan yang sangat tebal dari batang pohonnya, hingga menimbulkan bunyi patahan yang mengerikan. Beberapa saat ia menimbang-nimbangnya dengan tangannya, lalu melemparnya begitu cepat, menghempaskannya ke pohon besar lain. lalu ia sudah berada di hadapanku lagi, setengah meter dariku, kaku bagai batu.(Twilight. Hlm.279).
Tokoh Nick yang merupakan manusia serigala juga digambarkan sebagai hero bagi tokoh utama, karena dalam cerita, keadaan psikologis Zara tidak begitu baik setelah kematianj sang ayah.
“Empat bulan setelah kematian mendadak ayah tiri kesayangannya, Zara seperti tidak menjadi dirinya sendiri. Dia tidak bisa merasakan apa-apa, benar-benar hampa, bahkan rasa takut pun tidak dia rasakan. Ibu Zara yang khawatir terhadap keadaan emosional Zara yang semakin memburuk, berpikir perubahan akan memperbaiki keadaan. Zara yang menjadi seorang pemurung akhirnya terbang ke Maine untuk tinggal bersama neneknya, Betty, asal usulan sang ibu. Zara's mother, worried that Zara's emotional state is deteriorating, thinks the change will do her gooZara disagrees. Zara tidak setuju. Maine is cold, full of strangers, and far away from the only home she's ever known in Charleston, South Carolina. Maine merupakan kota terpencil yang dingin, populasinya sedikit, penuh dengan orang asing dan jauh dari rumah yang selama ini dia tempati di Charleston, South Carolina.
Kekecewaan demi kekecewaan mulai melingkupi hati Zara di sekolah barunya. Tidak butuh waktu lama baginya untuk memilah siapa yang teman dan siapa yang lawan. Nick yang atletis dan kuat,  Ian yang ambisius dan menarik adalah kategori yang bisa disebut teman oleh Zara. Disisi lain, ada Megan, si cantik dan populer yang bersikap kurang bersahabat tanpa alasan yang jelas.
 Zara berupaya untuk berdamai dengan kematian ayahnya dan menciptakan beberapa langkah untuk hidup normal. Selain bergabung dengan tim lari sekolah, dia pun kembali aktif menulis surat kepada Amnesti Internasional demi mengkampanyekan bantuan  untuk sesama.
Dalam misinya menyelamatkan dunia seperti yang ayah tirinya ajarkan, kengerian mulai terjadi ketika Zara menyadari bahwa lelaki asing yang diduga menguntitnya bukan hanya sosok dalam imajinasinya saja. Ia melihat pria aneh itu dimana-mana, keganjilan pun terus bermunculan, anak lelaki yang hilang secara misterius, serbuk emas yang selalu ditinggalkan oleh si penguntit, suara suara yang memanggil namanya di hutan serta sikap aneh teman-temannya yang mempercayai legenda tentang pixie - peri. Maine memiliki berbagai makhluk luar biasa diluar habitat manusia dan mereka tampaknya membutuhkan sesuatu-sesuatu seperti Zara.”(Need-Carrie Jones).
Dari pembahasan diatas terlihat bahwa dalam kedua novel, tokoh utama selalu memiliki masa lalu yang tidak begitu menyenangkan sehingga perlu dipertemukan dengan makhluk fantasi seperti vampir maupun manusia serigala atau peri untuk membebaskan mereka dari keterpurukan, dari sesuatu yang jahat dan semacamnya, makhluk fantasi inilah yang seolah diharapkan membawa keajaiban.

Kesimpulan
Fenomena makhluk fantasi sebagai tokoh imajiner dalam beberapa novel bergenre supranatural-thriller seperti Twilight dan Need bukan kali pertama dan bukanlah sesuatu yang baru, karena sebelumnya kita mengenal Harry Potter karya JK Rowling dan banyal novel lainnya yang bergenre sama. Pemilihan vampir maupun peri dan manusia serigala sebagai tokoh imajiner juga bukan sesuatu yang baru, hanya saja masing-masing penulis mengemasnya menjadi cerita yang berbeda dan memiliki kekhasan tersendiri.
Kehidupan manusia saat ini sudah semakin maju dan modern, semua serba mengandalkan teknologi dan mesin, adanya hal-hal yang tidak biasa atau diluar akal sehat seperti kemampuan super yang dimiliki oleh makhluk fantasi sebagai tokoh imajiner dari kedua novel tersebut, mungkin bisa dianggap sebagai pelarian dalam artian positif, lepas sejenak dari kehidupan nyata yang penat. Bacaan semacam ini bukan hanya menghibur dengan imajinasi yang memukau namu terselip begitu banyak pesan moral serta berguna untuk semacam phobia-therapy.
Dengan imajinasi yang ditawarkan penulis, pembaca bisa merasakan berbagai emosi seperti kebahagian, ketegangan, rasa putus asa-pulih kembali, ketakutan dan lainnya seolah melakukan perjalanan sebagai tokoh utama, menggembirakan tetapi bisa juga dijadikan sebagai sebagai meditasi akan rasa takut yang biasa dialami remaja yang masih labil misalnya dalam Need. Mencari tahu akan jati diri dan mengenal dunia yang sebenarnya terkadang merupakan proses yang menakutkan, bahkan pada saat kita merasa cukup yakin tentang siapa diri kita dan apa yang kita percayai, sebuah ketakutan saja mampu untuk menggoyahkan semuanya. Ketakutan dapat merubah perspektif kita dan dari situlah ujian yang sesungguhnya dimulai. Hal unik diselipkan dalam setiap subjudul dalam Need, Carrie Jones menuliskan beberapa istilah phobia sebagai subjudul didalamnya. Bagaimanapun juga sebuah eskapis atau pelarian tidak melulu negatif dengan menikmati novel bertokoh imajiner makhluk fantasi dibandingkan eskapis lainnya yang banyak terjadi di sekitar kita seperti memakai narkoba dan lain-lainnya yang tentu merusak diri.


DAFTAR PUSTAKA
Siswantoro. 2004. Metode Penelitian Sastra: Analisis Psikologis. Surakarta: Sebelas Maret University Press.
Sayuti, Suminto.A.. Berkenalan dengan Prosa Fiksi. Yogyakarta : Gema Media.
Semi. M. Atar. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa,1993
Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori sastra. Jakarta : Grasindo, 2008.
Siswantoro. 2004. Metode Penelitian Sastra: Analisis Psikologis. Surakarta: Sebelas Maret University Press.
Teeuw. A. Membaca dan Menilai Sastra. (Gramedia,1991).
Tim Estetika FBS UNJ, Estetika Sastra, Seni dan Budaya. Jakarta : UNJ Press,2008.


[1] Siswantoro. 2004. Metode Penelitian Sastra: Analisis Psikologis. Surakarta: Sebelas Maret University Press, hlm.31.

SASTRA SEBAGAI CERMINAN MORAL DAN PEMBELAJARAN TINGKAH LAKU MANUSIA

oleh Ririn Puspitaningrum

Pendahuluan
Sastra, sebuah kata yang minim namun sudah memiliki arti yang luas. Hakikatnya suatu sastra adalah proses kreatif yang dihasilkan seseorang berdasarkan intuisi dan nilai rasa yang dimilikinya dalam sebuah konteks karya seni. Sastra boleh dibaca, dinikmati dan diapresiasi dengan “sepuas-puasnya” karena sastra pada umumnya diartikan sebagai lambang “kebebasan” berekspresi. Banyak orang yang berpendapat bahwa sastra sebagai cara untuk pengekspresian diri sendiri, keinginan yang terdalam yang terpacarkan lewat penulisan sastra atau bahkan sastra itu bisa jadi bagian dari hidup kita. Semua itu memang ada dalam karya sastra. Namun, alangkah baiknya apabila hal itu kita cermati lebih mendalam lagi, apa sebenarnya makna dibalik sastra itu. Bahwa sastra pun juga diatur oleh norma-norma atau nilai-nilai sebagai pembentuk kepribadian masing-masing individu.
Kepribadian sangat erat hubungannya dengan tingkah laku manusia. Sebagai “penghasil” kepribadian, manusia hendaklah bercermin dengan tingkah lakunya sendiri. “Kebebasan” dalam sastra ada dan terjadi sesuai dengan tingkah laku manusia sebagai pembentuknya, sehingga menjadi “budaya manusia yang utuh”. Moral dan tingkah laku yang terbentuk itu bisa saja mewakili suatu masyarakat atau golongan apabila hal tersebut sudah menjadi kebiasaan.

Konsep dan Makna “Kebebasan”
Rene Wellek & Austin Warren menyebutkan bahwa cara lain untuk mendefinisikan sastra adalah membatasinya pada “mahakarya” yaitu buku-buku yang dianggap menonjol karena “bentuk dan ekskpresi sastranya”. Kriteria yang dipakai adalah segi estetis, nilai-nilai dan kekuatan penyampaian. (Rene Wellek & Austin Warren, 1995. Teori Kesusastraan).
Sastra, sebagai produk peradaban dan daya pikir manusia, tak bisa lepas dari perihal kebebasan. Kebebasan adalah hak setiap manusia dan hak setiap manusia pulalah untuk memperjuangkannya. Kebebasan berekspresi dan berkreasi lewat teks sastra adalah hak setiap sastrawan dan siapapun yang mencintai sastra. Namun, tidak serta merta kebebasan tersebut tidak dibarengi dengan tanggung jawab. Karena kebebasan dan tanggung jawab adalah satu paket, tidak bisa dipilih secara terpisah ataupun dipisah dan ditinggalkan salah satunya. Sastrawan sebagai bagian dari masyarakat bangsa tetap memiliki tanggung jawab terhadap masyarakat pembaca.
Pada pertengahan tahun 2007, terdapat konflik di antara para pelaku sastra. Permasalahan yang diangkat apalagi kalau bukan “kebebasan sastra yang kebabalasan”. Sastrawan-sastrawan penulis novel angkatan modern berseberangan jalan dengan Bapak Taufik Ismail sastrawan era 66-an. Di antara nama-nama besar sastrawan angkatan modern yaitu Djenar Mahesa Ayu, Ayu Utami, Mariana Amiruddin, Hudan Hidayat, dll. Polemik berlanjut. Atas nama kebebasan berkreasi dan kebebasan menafsir teks sastra, Hudan Hidayat menganggap bahwa Taufik tidak memiliki hak untuk memberikan tafsiran tunggal atas karya-karya yang dituduhkannya sebagai sastra selangkangan. Seks, atau apapun istilahnya, menurut Hudan hanyalah tempelan, sampiran yang tujuannya tetap untuk memerdekakan manusia, membebaskan manusia dan menguak kemunafikan dan kebobrokan manusia, bahkan untuk menghampiri Tuhan. Bersama dengan M. Fadjroel Rachman, Mariana Amiruddin dan  Rocky Gerung, Hudan mengeluarkan Memo Indonesia. “Kami adalah manusia bebas. Berdaulat atas jiwa dan raga kami untuk mencipta kemanusiaan kami sendiri dalam kebebasan tanpa penjajahan”, demikian petikan dari Memo Indonesia yang dirilis pada 12 Juli 2007 di PDS HB Jassin, Jakarta (sumber: www.google.com).
Bila kita simak informasi berita di atas, pasti sudah dapat ditebak bahwa banyak pandangan dari berbagai kalangan yang bersebelahan dengan pandangan dari kalangan lain mengenai sastra, makna sastra serta konsep sastra. Di satu pihak, makna sastra dan konsep sastra harus dibatasi dengan nilai moral yang ada sehingga tidak terlalu berdampak buruk pada segi estetika sastra. Sedangkan pada pihak lain menginginkan “kebebasan sastra yang sebebas-bebasnya”, tanpa harus ada batasan-batasan yang mengekang kreatifitas manusia. Ironis memang apabila dalam sastra, batasan moral sudah diperdebatkan dengan dua atau lebih pendapat dari berbagai kalangan dan tokoh lintas sastra. Nilai moral yang sebenarnya adalah suatu nilai yang hidup di tengah-tengah masyarakat sejak dahulu sampai sekarang yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok masyarakat dalam mengatur tingkah lakunya (kinayati Djojosuroto, analisis teks sastra dan pengajarannya). Kata moral memang sensitif apabila dihubung-hubungkan dengan konsep sastra sebagai “kebebasan”. Namun, apakah layak bagi sastra apabila “kebebasan” yang diumbar-umbar itu tidak disertai dengan nilai moral?
Mungkin saya berlebihan dengan kata-kata “nilai moral” di sini. Akan tetapi, apabila di suatu karya sastra terdapat hal-hal yang kurang enak untuk dibaca bahkan dibahas dalam kaidah moralitas, hal itu tidak lagi menjadi sesuatu yang berlebihan. Sastra yang mengagungkan kata “kebebasan” sarat akan budaya-budaya barat (dengan tulisan-tulisan yang mengungkapkan seksualitas - hubungan suami istri bahkan membicarakan “alat kelamin sendiri”) tentu saja sudah tidak efektif lagi untuk dijadikan pegangan dalam perbandingan tingkah laku manusia. Misalnya saja novel Nayla karya Djenar Mahesa Ayu, atau novel Saman karya Ayu Utami, ataupun novel Perempuan Kembang Jepun karya Lang Fang. Jika isi sastra saja sudah mengungkapkan hal-hal seperti itu, maka apa jadinya tingkah laku yang dibawa oleh manusia. Bisa jadi sebagian pembaca akan meniru hal-hal yang diumbar atau bisa jadi di lain pihak, justru banyak yang lebih serius membentengi diri mereka dengan nilai-nilai kebaikan yang ada.
Memang tidak ada larangan bagi pengarang untuk mengeksplorasi seksualitas dalam berkarya. Namun, masih banyak persoalan di negeri ini yang tidak bisa dituntaskan hanya dengan “bereksplorasi berdasarkan tulisan-tulisan seksualitasnya”. Semoga dengan kebebasan kreatifnya, para pengarang mampu melahirkan karya-karya besar, dengan kadar estetika dan kadar keberterimaan di masyarakat yang tinggi, tidak peduli dari kubu manapun.

Nilai-nilai dan Amanat dalam sastra
Di setiap karya sastra tentu akan ada nilai-nilai di dalamnya dan amanat yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca karyanya. Dalam memaknai sastra pun harus juga dilihat dari nilai-nilai dan amanat yang ada di dalam karya sastra tersebut (tersurat maupun tersirat), sehingga sebagai pembaca, kita tidak dapat menghindar dari hal-hal tersebut. Sastra akan mengungkapkan kehidupan manusia dengan menghayati segala persoalan kehidupan manusia dengan penuh kesungguhan lebih dahulu, kemudian mengungkapkan kembali melalui sarana fiksi (bisa dalam bentuk puisi, novel, cerita pendek, dll). Pembaca seolah dihadapkan pada suatu persoalan hidup dalam suatu rangkaian peristiwa. Di situlah pembaca dibawa masuk hingga ke dalam sebuah perenungan tentang kehidupan manusia hingga akhirnya pembaca mendapatkan suatu pesan dalam kehidupan nyata yang disebut dengan amanat.
Dari suatu amanat itulah, manusia akan belajar bagaimana mengendalikan diri dan mengatur tingkah lakunya untuk menjadi lebih baik lagi dari sebelumnya. Amanat dan nilai-nilai yang ada dalam karya sastra hendaknya menjadi pencerah manusia untuk menciptakan image-image baik sehingga akan dapat mempengaruhi orang-orang di sekililingnya.
Ketika kita kembali membicarakan moral dan seksualitas, tentu akan terasa lebih berarti dalam kaitannya dengan nilai-nilai kebaikan dalam karya sastra. Seorang pembaca mungkin tidak akan mau mengikuti hal-hal yang berkaitan dengan seksualitas dalam novel atau mungkin sebaliknya, karena begitu banyak novel-novel yang “sudah biasa” membicarakan seksualitas, bisa jadi seorang pembaca terbiasa pula dengan tingkah laku apa-apa yang diceritakan dalam novel tersebut yang tentu saja masih dalam konteks pembicaraan sastra.
Atar Semi mengungkapkan bahwa karya sastra adalah suatu medium yang paling efektif membina moral dan kepribadian suatu kelompok masyarakat. Moral dalam hal ini diartikan sebagai norma, konsep tentang kehidupan yang dijunjung tinggi oleh sebagian besar masyarakat tertentu (Semi, 1993: 49).
Oleh karena itu, karya sastra dapat berperan sebagai pembimbing manusia dalam memahami dan menghayati berbagai persoalan di kehidupan manusia, sastra menawarkan berbagai sikap moral – positif maupun negatif yang dapat dipakai sebagai renungan dalam hidupnya. Dalam membaca sastra pun, kita harus dapat memilah-milih mana sastra yang sesuai dan yang tidak sesuai, mana sastra yang berdampak positif pada tingkah laku kita dan mana yang berdampak negatif untuk diri kita. Ingatlah, bahwa di dalam sastra pun juga ada nilai moral yang membangunnya, sehingga akan menjadi sesuatu hal yang salah apabila dalam suatu karya sastra, nilai moral diabaikan begitu saja. Karena dengan hadirnya nilai moral dalam karya sastra, akan membentuk kepribadian dan tingkah laku manusia yang baru dan tentunya membawa hal-hal kebaikan pada manusia.

Kesimpulan
Sastra adalah proses kreatif yang dihasilkan seseorang berdasarkan intuisi dan nilai rasa yang dimilikinya dalam sebuah konteks karya seni. Sastra pada umumnya diartikan sebagai lambang “kebebasan” berekspresi. Banyak orang yang berpendapat bahwa sastra sebagai cara untuk pengekspresian diri sendiri, keinginan yang terdalam yang terpacarkan lewat penulisan sastra atau bahkan sastra itu bisa jadi bagian dari hidup kita. Namun dari kata “kebebasan” itu sebaiknya mengerti nilai-nilai dan amanat yang ada di dalamnya. Karena sastra dilindungi oleh nilai moral dan nilai moral tersebut tidak dapat diabaikan begitu saja. Nilai moral akan membentuk kepribadian dan tingkah laku manusia yang baru dan tentunya membawa hal-hal kebaikan pada manusia. Dari karya sastra itulah manusia akan belajar bagaimana mengendalikan diri dan mengatur tingkah lakunya untuk menjadi lebih baik lagi dari sebelumnya.


Daftar Pustaka

Djojosuroto, Kinayati. 2006. Analisis Teks Sastra dan Pengajarannya.
Yogyakarta: Pustaka.
Teeuw, A. 1989. Sastra Indonesia Modern 11. Jakarta: Pustaka Jaya.
Tiana Rosa, Helvy. 2003. Segenggam Gumam. Bandung : Syaamil.
Wellek Rene dan Austin Warren. 1995. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia