Beranda

Jumat, 28 Januari 2011

SASTRA SEBAGAI CERMINAN MORAL DAN PEMBELAJARAN TINGKAH LAKU MANUSIA

oleh Ririn Puspitaningrum

Pendahuluan
Sastra, sebuah kata yang minim namun sudah memiliki arti yang luas. Hakikatnya suatu sastra adalah proses kreatif yang dihasilkan seseorang berdasarkan intuisi dan nilai rasa yang dimilikinya dalam sebuah konteks karya seni. Sastra boleh dibaca, dinikmati dan diapresiasi dengan “sepuas-puasnya” karena sastra pada umumnya diartikan sebagai lambang “kebebasan” berekspresi. Banyak orang yang berpendapat bahwa sastra sebagai cara untuk pengekspresian diri sendiri, keinginan yang terdalam yang terpacarkan lewat penulisan sastra atau bahkan sastra itu bisa jadi bagian dari hidup kita. Semua itu memang ada dalam karya sastra. Namun, alangkah baiknya apabila hal itu kita cermati lebih mendalam lagi, apa sebenarnya makna dibalik sastra itu. Bahwa sastra pun juga diatur oleh norma-norma atau nilai-nilai sebagai pembentuk kepribadian masing-masing individu.
Kepribadian sangat erat hubungannya dengan tingkah laku manusia. Sebagai “penghasil” kepribadian, manusia hendaklah bercermin dengan tingkah lakunya sendiri. “Kebebasan” dalam sastra ada dan terjadi sesuai dengan tingkah laku manusia sebagai pembentuknya, sehingga menjadi “budaya manusia yang utuh”. Moral dan tingkah laku yang terbentuk itu bisa saja mewakili suatu masyarakat atau golongan apabila hal tersebut sudah menjadi kebiasaan.

Konsep dan Makna “Kebebasan”
Rene Wellek & Austin Warren menyebutkan bahwa cara lain untuk mendefinisikan sastra adalah membatasinya pada “mahakarya” yaitu buku-buku yang dianggap menonjol karena “bentuk dan ekskpresi sastranya”. Kriteria yang dipakai adalah segi estetis, nilai-nilai dan kekuatan penyampaian. (Rene Wellek & Austin Warren, 1995. Teori Kesusastraan).
Sastra, sebagai produk peradaban dan daya pikir manusia, tak bisa lepas dari perihal kebebasan. Kebebasan adalah hak setiap manusia dan hak setiap manusia pulalah untuk memperjuangkannya. Kebebasan berekspresi dan berkreasi lewat teks sastra adalah hak setiap sastrawan dan siapapun yang mencintai sastra. Namun, tidak serta merta kebebasan tersebut tidak dibarengi dengan tanggung jawab. Karena kebebasan dan tanggung jawab adalah satu paket, tidak bisa dipilih secara terpisah ataupun dipisah dan ditinggalkan salah satunya. Sastrawan sebagai bagian dari masyarakat bangsa tetap memiliki tanggung jawab terhadap masyarakat pembaca.
Pada pertengahan tahun 2007, terdapat konflik di antara para pelaku sastra. Permasalahan yang diangkat apalagi kalau bukan “kebebasan sastra yang kebabalasan”. Sastrawan-sastrawan penulis novel angkatan modern berseberangan jalan dengan Bapak Taufik Ismail sastrawan era 66-an. Di antara nama-nama besar sastrawan angkatan modern yaitu Djenar Mahesa Ayu, Ayu Utami, Mariana Amiruddin, Hudan Hidayat, dll. Polemik berlanjut. Atas nama kebebasan berkreasi dan kebebasan menafsir teks sastra, Hudan Hidayat menganggap bahwa Taufik tidak memiliki hak untuk memberikan tafsiran tunggal atas karya-karya yang dituduhkannya sebagai sastra selangkangan. Seks, atau apapun istilahnya, menurut Hudan hanyalah tempelan, sampiran yang tujuannya tetap untuk memerdekakan manusia, membebaskan manusia dan menguak kemunafikan dan kebobrokan manusia, bahkan untuk menghampiri Tuhan. Bersama dengan M. Fadjroel Rachman, Mariana Amiruddin dan  Rocky Gerung, Hudan mengeluarkan Memo Indonesia. “Kami adalah manusia bebas. Berdaulat atas jiwa dan raga kami untuk mencipta kemanusiaan kami sendiri dalam kebebasan tanpa penjajahan”, demikian petikan dari Memo Indonesia yang dirilis pada 12 Juli 2007 di PDS HB Jassin, Jakarta (sumber: www.google.com).
Bila kita simak informasi berita di atas, pasti sudah dapat ditebak bahwa banyak pandangan dari berbagai kalangan yang bersebelahan dengan pandangan dari kalangan lain mengenai sastra, makna sastra serta konsep sastra. Di satu pihak, makna sastra dan konsep sastra harus dibatasi dengan nilai moral yang ada sehingga tidak terlalu berdampak buruk pada segi estetika sastra. Sedangkan pada pihak lain menginginkan “kebebasan sastra yang sebebas-bebasnya”, tanpa harus ada batasan-batasan yang mengekang kreatifitas manusia. Ironis memang apabila dalam sastra, batasan moral sudah diperdebatkan dengan dua atau lebih pendapat dari berbagai kalangan dan tokoh lintas sastra. Nilai moral yang sebenarnya adalah suatu nilai yang hidup di tengah-tengah masyarakat sejak dahulu sampai sekarang yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok masyarakat dalam mengatur tingkah lakunya (kinayati Djojosuroto, analisis teks sastra dan pengajarannya). Kata moral memang sensitif apabila dihubung-hubungkan dengan konsep sastra sebagai “kebebasan”. Namun, apakah layak bagi sastra apabila “kebebasan” yang diumbar-umbar itu tidak disertai dengan nilai moral?
Mungkin saya berlebihan dengan kata-kata “nilai moral” di sini. Akan tetapi, apabila di suatu karya sastra terdapat hal-hal yang kurang enak untuk dibaca bahkan dibahas dalam kaidah moralitas, hal itu tidak lagi menjadi sesuatu yang berlebihan. Sastra yang mengagungkan kata “kebebasan” sarat akan budaya-budaya barat (dengan tulisan-tulisan yang mengungkapkan seksualitas - hubungan suami istri bahkan membicarakan “alat kelamin sendiri”) tentu saja sudah tidak efektif lagi untuk dijadikan pegangan dalam perbandingan tingkah laku manusia. Misalnya saja novel Nayla karya Djenar Mahesa Ayu, atau novel Saman karya Ayu Utami, ataupun novel Perempuan Kembang Jepun karya Lang Fang. Jika isi sastra saja sudah mengungkapkan hal-hal seperti itu, maka apa jadinya tingkah laku yang dibawa oleh manusia. Bisa jadi sebagian pembaca akan meniru hal-hal yang diumbar atau bisa jadi di lain pihak, justru banyak yang lebih serius membentengi diri mereka dengan nilai-nilai kebaikan yang ada.
Memang tidak ada larangan bagi pengarang untuk mengeksplorasi seksualitas dalam berkarya. Namun, masih banyak persoalan di negeri ini yang tidak bisa dituntaskan hanya dengan “bereksplorasi berdasarkan tulisan-tulisan seksualitasnya”. Semoga dengan kebebasan kreatifnya, para pengarang mampu melahirkan karya-karya besar, dengan kadar estetika dan kadar keberterimaan di masyarakat yang tinggi, tidak peduli dari kubu manapun.

Nilai-nilai dan Amanat dalam sastra
Di setiap karya sastra tentu akan ada nilai-nilai di dalamnya dan amanat yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca karyanya. Dalam memaknai sastra pun harus juga dilihat dari nilai-nilai dan amanat yang ada di dalam karya sastra tersebut (tersurat maupun tersirat), sehingga sebagai pembaca, kita tidak dapat menghindar dari hal-hal tersebut. Sastra akan mengungkapkan kehidupan manusia dengan menghayati segala persoalan kehidupan manusia dengan penuh kesungguhan lebih dahulu, kemudian mengungkapkan kembali melalui sarana fiksi (bisa dalam bentuk puisi, novel, cerita pendek, dll). Pembaca seolah dihadapkan pada suatu persoalan hidup dalam suatu rangkaian peristiwa. Di situlah pembaca dibawa masuk hingga ke dalam sebuah perenungan tentang kehidupan manusia hingga akhirnya pembaca mendapatkan suatu pesan dalam kehidupan nyata yang disebut dengan amanat.
Dari suatu amanat itulah, manusia akan belajar bagaimana mengendalikan diri dan mengatur tingkah lakunya untuk menjadi lebih baik lagi dari sebelumnya. Amanat dan nilai-nilai yang ada dalam karya sastra hendaknya menjadi pencerah manusia untuk menciptakan image-image baik sehingga akan dapat mempengaruhi orang-orang di sekililingnya.
Ketika kita kembali membicarakan moral dan seksualitas, tentu akan terasa lebih berarti dalam kaitannya dengan nilai-nilai kebaikan dalam karya sastra. Seorang pembaca mungkin tidak akan mau mengikuti hal-hal yang berkaitan dengan seksualitas dalam novel atau mungkin sebaliknya, karena begitu banyak novel-novel yang “sudah biasa” membicarakan seksualitas, bisa jadi seorang pembaca terbiasa pula dengan tingkah laku apa-apa yang diceritakan dalam novel tersebut yang tentu saja masih dalam konteks pembicaraan sastra.
Atar Semi mengungkapkan bahwa karya sastra adalah suatu medium yang paling efektif membina moral dan kepribadian suatu kelompok masyarakat. Moral dalam hal ini diartikan sebagai norma, konsep tentang kehidupan yang dijunjung tinggi oleh sebagian besar masyarakat tertentu (Semi, 1993: 49).
Oleh karena itu, karya sastra dapat berperan sebagai pembimbing manusia dalam memahami dan menghayati berbagai persoalan di kehidupan manusia, sastra menawarkan berbagai sikap moral – positif maupun negatif yang dapat dipakai sebagai renungan dalam hidupnya. Dalam membaca sastra pun, kita harus dapat memilah-milih mana sastra yang sesuai dan yang tidak sesuai, mana sastra yang berdampak positif pada tingkah laku kita dan mana yang berdampak negatif untuk diri kita. Ingatlah, bahwa di dalam sastra pun juga ada nilai moral yang membangunnya, sehingga akan menjadi sesuatu hal yang salah apabila dalam suatu karya sastra, nilai moral diabaikan begitu saja. Karena dengan hadirnya nilai moral dalam karya sastra, akan membentuk kepribadian dan tingkah laku manusia yang baru dan tentunya membawa hal-hal kebaikan pada manusia.

Kesimpulan
Sastra adalah proses kreatif yang dihasilkan seseorang berdasarkan intuisi dan nilai rasa yang dimilikinya dalam sebuah konteks karya seni. Sastra pada umumnya diartikan sebagai lambang “kebebasan” berekspresi. Banyak orang yang berpendapat bahwa sastra sebagai cara untuk pengekspresian diri sendiri, keinginan yang terdalam yang terpacarkan lewat penulisan sastra atau bahkan sastra itu bisa jadi bagian dari hidup kita. Namun dari kata “kebebasan” itu sebaiknya mengerti nilai-nilai dan amanat yang ada di dalamnya. Karena sastra dilindungi oleh nilai moral dan nilai moral tersebut tidak dapat diabaikan begitu saja. Nilai moral akan membentuk kepribadian dan tingkah laku manusia yang baru dan tentunya membawa hal-hal kebaikan pada manusia. Dari karya sastra itulah manusia akan belajar bagaimana mengendalikan diri dan mengatur tingkah lakunya untuk menjadi lebih baik lagi dari sebelumnya.


Daftar Pustaka

Djojosuroto, Kinayati. 2006. Analisis Teks Sastra dan Pengajarannya.
Yogyakarta: Pustaka.
Teeuw, A. 1989. Sastra Indonesia Modern 11. Jakarta: Pustaka Jaya.
Tiana Rosa, Helvy. 2003. Segenggam Gumam. Bandung : Syaamil.
Wellek Rene dan Austin Warren. 1995. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Terima kasih sangat membantu dalam mengerjakan tigas saya.